Monday, April 27, 2009

Inses dan Oedipus Kompleks Dalam Puisi Joko Pinurbo

Tahun 1897, Freud menulis surat kepada sahabatnya Fliess yang isinya mengenai Drama Sophokles, seorang dramawan Yunani yang telah menulis Oedipe-Roi, sebuah drama berdasarkan mitos Oedipus yang mempunyai keinginan cukup ekstrem, yaitu membunuh ayahnya dan menikahi ibunya. Cinta (seksual) terhadap ibu bagi anak laki-laki dan birahi ayah bagi anak perempuan ini di sebut incest, atau cinta sedarah. Mengenai inses ini, lebih jauh Freud menunjuk sebuah drama karya Shakespeare, Hamlet, yang juga memiliki kecenderungan serupa yaitu: keinginan Hamlet (sadar atau tidak) untuk membunuh pamannya juga dalam rangka merebut cinta sedarah ini.
Freud (2003:135) menjelaskan, bahwa kasih sayang non seksual dan kasih sayang seksual berasal dari sumber yang sama, yaitu jenis cinta yang pertama (kasih sayang non seksual) juga semata-mata berkait erat dengan fiksasi infantil libido. Inilah yang menyebabkan mobilisasi dari kasih sayang non seksual menjadi seksual dan pada akhirnya memicu dorongan seksual sedarah atau inses.
Objek inses ini adalah objek yang dianggap mempunyai nilai-nilai sakral bagi manusia dan kemanusiaan, seperti: ibu, saudara kandung, atau ayah. Di sini Freud juga menjelaskan bahwa hasrat-hasrat yang dianggap asing bagi sifat-sifat manusia karena kesakralannya itu malah mempunyai kekuatan untuk muncul dalam mimpi sebab keberadaannya telah mengendap ke bawah sadar.
Mengenai objek seksual yang berkait dengan inses ini, Joko menulis Celana (1). Dalam puisi ini, keinginan atau pikiran tentang inses ini digambarkan dengan seseorang yang sedang “bertualang mencari kubur ibunya” sebagai ungkapan rasa bersalah karena telah menginginkan ibu sebagai objek seksual yang kedudukkannya bahkan telah disakralkan oleh ketentuan-ketentuan agama. Dalam puisi ini, hasrat tentang inses dan rasa bersalah akibat dorongan itu digambarkan dengan baris-baris berikut:
Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai tokoh busana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya.

Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.

“Kalian tidak tahu ya
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”

Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan,
“Ibu, kau simpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”
(Celana (1), 1996:28).

Agama dan moralitas dalam masyarakat telah mengharamkan hubungan seksual sedarah. Objek sedarah yang umumnya dianggap sakral ini adalah ayah, ibu dan saudara kandung. Dalam puisi di atas hubungan cinta sedarah ini ditandai dengan rasa bersalah seorang individu sehingga ia merasa perlu “berkelana mencari kubur ibu / hanya untuk menanyakkan, / “Ibu, kau simpan di mana celana lucu / yang kupakai waktu bayi dulu?” Ini mengingatkan pada kisah raja Oedipus yang karena penyesalan ini, menjadi pengembara buta dan terlunta-lunta sampai akhir hayat.
Celana adalah benda yang umumnya dipakai untuk menutup ketelanjangan atau aurat. Dalam puisi di atas terdapat baris, “Ibu, kau simpan di mana celana lucu / yang kupakai waktu bayi dulu?” Apakah benar seorang bayi memakai celana ketika ia terlahir ke dunia? Tentunya celana yang dipakai seorang bayi waktu bayi sebagai penutup aurat ini, adalah simbol yang mewakili kerinduan si aku lirik pada tubuh yang fitri, di mana seseorang belum mengenal keliaran impuls-impuls seksual yang terus tumbuh seperti gurita dalam tubuh yang berkembang bersama struktur dan fungsi tubuh.
Impuls seksual yang terjadi di luar sadar ini seperti yang telah diuraikan di atas, mengalami banyak permasalahan pada awal penyalurannya. Pada umumnya individu mengalami beberapa fase perkembangan dan pengalaman yang sangat personal menyangkut pemenuhan dan pengalihan impuls seksual ini. Menurut Freud, seorang anak pada umumnya juga mengalami kecemburuan terhadap ayah bagi anak laki-laki dan kecemburuan pada ibu bagi anak perempuan. Kecemburuan inilah yang menyebabkan tumbuhnya beni-beni inses atau cinta sedarah, sehingga dalam drama-drama klasik sering mengisahkan bagaimana seseorang yang ingin membunuh ayahnya demi memperebutkan kasih sayang ibu.
Pada puisi di atas, “mencari kubur ibu” tentunya bukan tanpa maksud, apalagi itu dilakukan untuk “menanyakan celana lucu” yang dipakainya waktu bayi dulu. “Bahkan di depan pramuniaga / yang merubung dan membujuk-bujuknya / ia malah mencopot celananya sendiri / dan mencampakkannya.” Pramuniaga yang menawarkan celana sebagai perempuan yang bisa jadi menggairahkan secara seksual menjadi tidak berarti sebab seseorang masih memendam penyesalan yang mendalam terhadap ibu yang dulu pernah menjadi sasaran objek seksual inses. “Ibu, kausimpan di mana celana lucu / yang kupakai waktu bayi dulu?, merupakan ungkapan terdalam dari diri seseorang tentang sebuah kerinduan di saat dia dalam keadaan fitri dan belum mengenal keliaran dorongan seksual yang tak mengenal batas-batas yang telah disakralkan oleh kemanusiaan, seperti ibu atau ayah kandung.
Kecemburuan anak terhadap ayah ini pun tampak dalam puisi Ketika Pulang. Bait-bait puisi itu adalah:
Di depan pintu aku berjumpa lelaki tua
dengan baju usang, celana congklang.
“Kok tergesa,” ia menyapa,
“Kita mabuk-mabuk dululah.”

Ia menatapku, aku menatapnya.
“Selamat minggat,” ujarnya sambil mencubit pipiku.
“Selamat ngorok,” ujarku sambil kucubit janggutnya.

Ia siap melangkah ke dalam rumah, aku siap berangkat
meninggalkan rumah.
Dari dalam rumah ibu berseru,”Duel sajalah!”
(Ketika Pulang, 1998:51).

Menurut Freud (2006:227) seorang anak laki-laki sejak kecil sudah mulai membangun rasa sayang terhadap ibunya yang dilihat sebagai salah satu miliknya dan menganggap ayah sebagai pesaing yang berusaha merebut atau berbagi kepemilikan. Demikian juga dengan anak perempuan yang melihat ibunya sebagai seorang yang mengganggu hubungan kasih sayang antara dirinya dengan ayahnya, yang dirasakan dapat di penuhinya sendiri. Hubungan yang biasa di sebut Oedipus Complex ini memang tidak mendasari semua hubungan antara orang tua dan anak sebab dalam kenyataan yang terjadi lebih rumit lagi.
Orang tua sendiri juga sering mendorong anaknya untuk bertindak seperti Oedipus Kompleks ini. Perlakuan orang tua yang sering membeda-bedakan kasih sayang berdasarkan jenis kelamin, sang ayah lebih sayang pada anak perempuan sedangkan sang ibu kepada anak laki-laki, misalnya, adalah benih-benih yang menumbuhkan kasih sayang jenis Oedipus ini.
Pada puisi Ketika Pulang, memperlihatkan bagaimana hubungan anak laki-laki dan ayah dari jenis Odipus ini, yang digambarkan dengan seorang anak yang baru pulang dan begitu di depan pintu, yang dijumpai adalah “lelaki tua dengan baju usang, celana congklang” dan menyambut sang anak dengan semacam sindiriran: “Kok tergesa, kita mabuk-mabuk dululah.” Sudah sering dijumpai terutama dalam tatanan masyarakat yang lebih tradisional (patriarkal), anak lelaki menjadi momok bagi sang ayah. Dalam tatanan masyarakat jenis ini, seorang ayah (kepala suku, misalnya) seperti pada cerita-cerita kuno sering membunuh anak laki-laki karena dianggap ancaman bagi seks dan kekuasaannya. Bahkan Freud menyimpulkan, pembunuhan setiap bayi laki-laki yang lahir dalam cerita mesir kuno oleh Fir’aun adalah juga dalam rangka ini.
Seks dan kekuasaan, sejak zaman purba memang dua hal yang sering dipertalikan. Miniatur dari hubungan ini terlihat dalam sebuah keluarga, di mana sang ayah tidak sekedar menjadi kepala keluarga tapi juga seseorang yang bagi anak patut dicemburui karena dianggap telah merampas kasih sayang dan menguasai sang ibu sehingga tidak jarang mereka seperti anjing dan kucing yang saling menatap curiga bila bertemu: “Ia menatapku, aku menatapnya. Ia siap melangkah ke dalam rumah, aku siap berangkat / meninggalkan rumah.”
Selain itu, Freud menambahkan bahwa seorang anak yang pernah melihat hubungan bersebadan kedua orang tuanya menganggap itu adalah agresi sang ayah terhadap ibu. Inilah yang menjadikan masalah itu terkesan rumit. Kasih sayang sang ibu yang sifatnya nonseksual pada akhirnya (entah bagaimana) berubah menjadi kasih sayang seksual dan kecemburuan sang anak pun berawal dari sini. Tapi agaknya Freud memang lebih mendasarkan perhatiannya pada masyarakat patriarkal yang masih primitif.
CINTA AYAH DALAM PERSPEKTIF SEMIOTIKA
(Pendekatan Semiotika F. de Saussure)

Pendahuluan
Puisi, seharusnya segar. Puisi, selayaknya sanggup menyegarkan. Di dalam puisi, seharusnya ada suatu kedalaman, yang bila digali, tidak akan pernah habis. Itulah makna. Sebuah proses pemaknaan adalah proses pergumulan dengan setiap detil puisi, dengan yang ditandakan. Begitulah, detil-detil puisi adalah detil-detil tanda. Kira-kira demikian, memandang puisi dari sudut semiotik.
Teori semiotika merupakan ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang tanda dan cara kerjanya. Berbicara tentang semiotika tidak akan lepas dari pembicaraan tentang tokoh pentingnya, Ferdinand de Saussure. Menurutnya, tanda merupakan objek fisik dengan sebuah makna (Susanto, 2005: 33). Dalam teorinya, Saussure menyebut “objek fisik” atau “eksistensi fisik tanda” sebagai penanda. Sedangkan yang merupakan makna, atau “konsep mental” disebut petanda, yaitu apa yang diacu oleh penanda.
Teori semiotika Saussure terdiri dari pasangan beroposisi, selain konsep penanda – petanda: adalah langue – parole. Konsep pertama mengacu pada bahasa umum, yaitu bahasa sebagai objek sosial yang murni dan dengan demikian keberadaannya terletak di luar individu. langue berperan sebagai seperangkat konsepsi-konsepsi sistematik dalam proses komunikasi, sedangkan parole adalah ucapan individual. Parole dapat dipandang sebagai kombinasi yang memungkinkan penutur mampu menggunakan kode bahasa untuk mengungkapkan pikiran pribadinya, maupun sebagai mekanisme psiko-fisik yang memungkinkan penutur menampilkan kombinasi tersebut (Susanto, 2005: 32-33). Wilayah puisi termasuk dalam konsepsi parole, bentuk nyata ucapan (ungkapan) individual pengarang. Namun demikian, di balik setiap ucapan individual tersebut, terdapat suatu tanda yang terlembagakan, yaitu kode, sebuah sistem yang berlaku umum, yang termasuk wilayah langue.
Lebih jelas Ratna (2004: 100) mengungkapkan, bahwa langue dianggap sebagai fakta sosial, sebagai ciri-ciri institusi, impersonal, gudang tanda, sistem kebahasaan yang dipahami bersama. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa parole, yang merupakan ucapan individual, merupakan bagian dari langue, seperti yang diungkapkan oleh Budiman, bahwa parole tersusun dari tanda-tanda yang identik dan senantiasa berulang. Karena konsep keberulangan itulah maka setiap tanda dapat menjadi elemen dari langue (2003: 40).

Cinta Seorang Ayah dalam Puisi
Puisi ayah, karya Abdurahman Faiz, penyair cilik yang pernah menjadi Juara Pertama Lomba Menulis Surat untuk Presiden, pada 2003 lalu, merupakan puisi yang polos, terkesan apa adanya, namun menggugah dan segar. Sangat tidak pas bila dibandingkan dengan puisi-puisi kontemporer memang, tapi Faiz disebut-sebut sudah membuat tradisi tersendiri dalam dunia sastra anak.
Adanya sebuah tradisi yang dibentuk oleh seorang penyair pada jamannya, mengimplikasikan sistem kode, sebuah langue. Pada bait pertama puisi Ayah berbunyi:
Sedalam laut, seluas langit
cinta selalu tak bisa diukur
begitulah ayah mengurai waktu
meneteskan keringat dan rindunya
untukku

bila dibaca tanpa mengetahui penulis puisi ini, maka akan terlihat sebuah puisi yang ditulis oleh kebanyakan penulis muda, bukan seumur Faiz yang menulis puisi ini ketika berumur 8 tahun. Pemikiran-pemikiran dan pemilihan bahasa dalam puisi ini terkesan matang bagi seorang bocah berumur 8 tahun.
Pada baris pertama diungkapkan “sedalam laut, seluas langit” adalah ungkapan yang mengacu pada baris selanjutnya “cinta selalu tak bisa diukur”, hal ini mengacu pada perasaan cinta yang mendalam, yang tidak akan pernah habis dan kering seperti sifat laut dan langit. Begitulah mungkin cinta ayah bagi aku liris, yang setiap harinya, setelah pulang bekerja (meneteskan keringat) masih menyisakan rindu untuk anaknya. Ungkapan ini seolah menunjukkan, selain Ibu yang melahirkan anak, ayah juga memiliki cinta yang mendalam bagi anaknya. Cinta ayah, selama ini memang sering dinomorduakan, setelah cinta ibu, namun demikian, tidak selayaknya diremehkan. Abdurahman Faiz mungkin memandang betapa berharganya cinta seorang ayah.
Pada bait selanjutnya, diungkapkan kesediaan ayah mengurai cinta kepada anaknya, walaupun dalam keadaan yang letih setelah bekerja.
Ayah pergi sangat pagi
kadang sampai pagi lagi
tapi saat pulang
ia tak lupa menjinjing pelangi
lalu dengan sabar
menguraikan warnanya
satu persatu padaku
dengan mata berbinar

Diksi “menjinjing pelangi”, mengkiaskan buah tangan. Dengan gaya yang sedikit hiperbol, kesan yang ditimbulkan oleh diksi tersebut sangat mengagumkan. Pelangi adalah suatu fenomena yang indah, yang tidak dapat disaksikan setiap hari. Namun demikian, bagi orang-orang yang menyaksikan pelangi setelah hujan, mungkin menggumam “oh indahnya,” atau ungkapan kekaguman yang lain. Lalu bagaimana seandainya seseorang membawakan pelangi, setiap kali datang, sebagai oleh-oleh? Hal tersebut mungkin yang dirasakan oleh pengarang, dan demikian pula seperti yang diharapkan oleh anak-anak lain dari seorang ayah. Seolah-olah, puisi ini adalah sebuah pesan yang mendalam bagi ayah-ayah, yang secara tidak langsung, mengkhianati anak-anaknya dengan cara berselingkuh, atau berpoligami.
“Pelangi” adalah lengkung warna di langit sebagai akibat pembiasan sinar matahari oleh titik-titik hujan atau embun. Bagaimana bila warna-warna pelangi diuraikan satu persatu? Bukankah indah sekali? Warna adalah sesuatu yang menarik bagi anak-anak. Warna merah, biru, kuning, hijau dan sebagainya merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi anak-anak. Oleh karena itu, kegembiraanlah yang tersirat bila seorang ayah sanggup mengurai warna-warni pelangi untuk anaknya, apalagi dengan mata yang berbinar. Dengan demikian, pelangi adalah kegembiraan, simbol cinta yang indah, yang setiap warnanya adalah kegembiraan.
Kedua bait di atas, satu dengan yang lainnya saling terkait. Koherensi dalam pemilihan bahasanya pun membuat puisi ini terkesan pas, tidak perlu dikurangi dan tidak perlu ditambahi. Keluguan seorang anak yang indah, terungkap lewat barisan kata-kata yang tidak terlalu berlebihan, dengan retorika yang sederhana. Sifat ini seperti sifat cinta. Cinta yang tulus, yang tak berpamrih, tidak pernah melebih-lebihkan apapun. Mencintai adalah menerima sesuatu dengan apa adanya, kemudian memberikan sesuatu tanpa meminta imbalan apapun. Pada sebuah teori tentang cinta, yang seperti itu disebut cinta platonis. Hal tersebut, lebih ditekankan lagi pada diksi: “Sedalam laut, seluas langit/ cinta selalu tak bisa diukur/ meneteskan keringat dan rindunya” atau pada diksi pada bait kedua: “ia tak lupa menjinjing pelangi/ lalu dengan sabar/ menguraikan warnanya/ satu persatu padaku”. Inilah parole dalam konsep Saussure, yaitu ungkapan individual tentang cinta seorang ayah terhadap anaknya.
Kata “pelangi”, atau retorika “sedalam laut, seluas langit” merupakan beberapa kode sastra yang tergolong usang. Namun demikian, hal tersebut dapat dimaklumi. Pelajaran sastra dalam tingakat Sekolah Dasar adalah pelajaran tentang sejarah sastra. Karya-karya yang mungkin digeluti oleh pengarang adalah karya-karya yang sudah tertulis dalam sejarah, semisal Rendra, Sutan Takdir Alisjahbana dan sebagainya. dengan demikian, hal tersebut memengaruhi diksi pengarang. Hubungannya dengan Ibunya, yang seorang cerpenis itu, mungkin turut memengaruhi logika puitik Abdurahman Faiz. Nada-nada religius mengesan dalam setiap bait puisi-puisi Faiz yang lain. Inilah yang dapat disebut sebagai langue dalam konsep Saussure. Pada akhirnya, analisis kode sastra adalah analisis yang bersifat ideologis, dalam arti latar ideologis yang membentuk logika berbahasa, yang sangat erat hubungannya dengan latar belakang sosiobudaya pengarang.


Konsepsi Waktu
Konsepsi tentang cinta, secara otomatis akan mengimplikasikan konsepsi waktu. Sebagai permisalan, dalam waktu berapa lama seorang ayah mencintai anaknya? Pada beberapa kasus dalam dunia sinetron kita, contohnya pada sinetron Cahaya, sosok ayah seolah-olah hanya peduli pada diri sendiri, yang kemudian berkilah bahwa anaknya harus menikah dengan pemuda kaya raya agar nasibnya baik, padahal demi kepentingan ekonominya sendiri. Kasus tersebut, menunjukkan bahwa setelah beberapa waktu, cinta ayah kepada anaknya mungkin segera berubah, seiring dengan bergulirnya waktu, cinta ayah hanya berlatar belakang kebutuhan ekonomi belaka.
Lain halnya dengan “cinta ayah” dalam puisi Faiz. Walaupun cinta ayah terbatas oleh waktu, yang mungkin dirasakan oleh aku menimbulkan efek tersendiri, namun setiap pertemuannya dengan ayah adalah kegembiraan, penuh dengan cinta. Konsepsi waktu itu terdapat dalam bait ketiga:
Waktu memang tak akrab
denganku dan ayah
tapi di dalam buku gambarku
tak pernah ada duka atau badai
hanya sederet sketsa
tentang aku, ayah, dan tawa
yang selalu bersama

Kegelisahan aku tentang waktu terungkap dalam baris pertama dan kedua, “Waktu memang tak akrab/ denganku dan ayah,” personifikasi waktu sengaja dimaksudkan seolah-olah waktu hidup, dan dalam hubungannya dengan aku dan ayah tidak begitu menguntungkan. Hal tersebut mengacu pada kurangnya intensitas pertemuan aku dengan ayah. Dihubungkan dengan ungkapan pada bait sebelumnya, “Ayah pergi sangat pagi/ kadang sampai pagi lagi” dapat dilihat, bahwa yang menjadi penghalang pertemuan aku adalah kesibukan ayah.
Dunia fiksi adalah dunia yang berdiri sendiri. Begitu pula tanda-tanda yang ada di dalamnya, mengacu pada dunia fiksional, dunia yang hadir dalam bentuk yang lain, dunia yang di dalamnya terdapat begitu banyak imajinasi. Namun demikian, dalam prosesnya, penulis fiksi adalah orang yang mencampuradukkan kenyataan yang dilihatnya dengan imajinasi dalam pikirannya. Hal tersebut dimungkinkan bersifat psikologis. Setiap kontemplasi adalah akibat dari sebuah pengalaman, sementara karya fiksi (sastra) adalah bentuk nyata proses perenungan penulisnya.
Atas dasar pernyataan tersebut, adalah mungkin, tanda dalam karya sastra dapat dihubungkan dengan kenyataan historis pengarangnya (author). Apalagi, bagi seorang anak, karya sastra lebih kepada pengungkapan tentang sebuah kejujuran. Apa yang dirasakan adalah apa yang ditulis. Oleh karena itu, sastra bagi anak seperti buku diari, catatan sehari-hari, pengalaman demi pengalaman yang diungkapkan dengan jujur dan gamblang.
Kembali pada konsepsi waktu dalam puisi Abdurahman Faiz. Adalah mungkin bahwa konsepsi waktu dalam puisi itu adalah representasi latar belakang sosial pengarang. Pengarang hidup di kota Jakarta, yang setiap individunya adalah orang-orang yang super sibuk. Motif ekonomi adalah alasan utama dalam setiap aktivitas kehidupan di Jakarta. Sekelumit biografi pengarang, bahwa Abdurahman Faiz adalah anak seorang wartawan bernama Tomi Satryatomo. Bisa dibayangkan kesibukan seorang wartawan, yang kemudian harus membagi waktunya untuk berbagi cinta dengan keluarganya, khususnya anaknya. Sebagai anak seorang wartawan yang banyak menghabiskan waktu di jalanan, mencari berita, demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya, Faiz mungkin jarang bertemu dengan ayahnya. Ada kemiripan konsepsi “waktu” pada puisi dengan acuan yang bersifat referensial tentang waktu pada kehidupan nyata pengarang. Kemiripan ini kemudian oleh Saussure disebut sebagai hubungan paradigmatis, yaitu hubungan asosiatif antara penanda dan yang ditandakan, suatu sistem relasi yang mengaitkan sebuah tanda dengan tanda-tanda lain, baik berdasarkan kesamaan maupun perbedaannya, sebelum ia muncul dalam tuturan (Susanto, 2005: 33).
Ternyata waktu tidak mampu mengalahkan cinta. Pada baris selanjutnya dalam bait ketiga diungkapkan “tapi di dalam buku gambarku/ tak pernah ada duka atau badai” dan pada ungkapan “hanya sederet sketsa/ tentang aku, ayah, dan tawa/ yang selalu bersama.” Walaupun aku jarang bertemu dengan ayah, menggambarkan suasana kegembiraan dalam sebuah buku gambar adalah hal yang manjur untuk melepaskan kerinduan. Menggambar adalah sesuatu kesenangan yang lain, yang sering didapati pada anak-anak. Aktivitas menggambar, bagi anak-anak adalah menyenangkan: sebuah pemandangan, kegembiraan dalam keluarga, bahkan ekspresi tentang cinta pada ibu, ayah atau teman-teman. Selain itu, menggambar akan terasa lebih asik lagi mungkin, bila dilanjutkan dengan mewarnai. Barangkali, anak-anak memang lebih mengerti arti warna-warna, dan sanggup mengekspresikannya lebih bebas daripada orang dewasa. Begitulah, setiap deret sketsa dalam sebuah buku gambar, sanggup mengekspresikan cinta anak kepada ayahnya. Dan cinta mengalahkan segalanya, termasuk waktu yang tidak pernah akrab.
Sejengkal Interpretasi Sinkronis
Teori semiologi Saussure juga menawarkan sebuah konsep beroposisi tentang kajian diakronik dan sinkronik. Kajian diakronik merupakan kajian bahasa dalam perkembangan sejarah, dari waktu ke waktu, studi tentang evolusi bahasa, studi mengenai elemen-elemen individual pada waktu yang berbeda. Sedangkan studi sinkronik mengkaji bahasa pada masa tertentu, hubungan antara elemen-elemen bahasa yang saling berdampingan (Ratna, 2004: 100).
Adalah wajar bila sebuah analisis tentang karya sastra diakhiri dengan kesimpulan. Dalam pembahasan kali ini, penulis mencoba memaparkan sejengkal interpretasi secara sinkronis, mengenai hubungan ideologis retorika puisi Ayah karya Abdurahman Faiz dengan kode sastra kontemporer.
Sastra kontemporer adalah sastra yang berkembang dalam komunitas-komunitas. Dalam sebuah komunitas tertentu, sangat dimungkinkan memiliki karya sastra dengan ciri khas yang berbeda dengan karya sastra dala komunitas yang lain. Contoh konkritnya adalah realitas perbedaan retorika antara sastra yang berkembang di kota, dengan sastra yang berkembang di desa. Hal tersebut, dapat merupakan ciri-ciri sastra kontemporer kita, yang disebut-sebut sebagai angkatan 2000.
Karya sastra tidak lagi memuat tema-tema universal, melainkan lebih banyak mengangkat tema-tema lokal. Afrizal Malna, misalnya, dalam sajak-sajaknya sarat akan simbol-simbol yang megacu pada kenyataan kehidupan perkotaan. Demikian halnya dalam berbagai komunitas sastra yang berkumpul dalam suatu wadah berbasis internet, yang dalam kecanggihannya, mampu menghubungkan setiap anggotanya dalam kecepatan bite per detik.
Puisi Ayah karya Abdurahman Faiz lahir dalam konteks budaya yang demikian. Apalagi penulis, Faiz, bertempat tinggal di Jakarta bersama ayah dan ibunya. Seharusnya, ada semacam kecenderungan mengikuti trend dalam puisi-puisi Faiz. Namun, ternyata hal tersebut tidak terjadi. Justru, puisi-puisi Faiz merupakan suatu bangunan genre tersendiri dalam dunia sastra kita, yaitu genre Sastra Anak. Puisi-puisi Faiz merupakan angin segar bagi perjalanan sastra kontemporer.
Walaupun demikian, selalu ada beberapa hal yang dapat diperbandingkan. Dalam puisi Ayah, asosiasi “pelangi” (dalam puisi-puisi kontemporer sering ditemukan diksi “bianglala”) merupakan sebuah fenomena ideologis dalam kode sastra. Di kota, orang-orang jarang melihat pelangi di langit setelah hujan. Bila pun ada pelangi, kesempatan untuk melihatnya adalah sangat jarang. Hal tersebut, seolah-olah merupakan masalah yang ironis, sementara kesibukan bekerja bertujuan untuk mencapai indahnya kebahagiaan, justru ketika ada hal yang indah, yang alami dan tidak setiap hari ditemukan, begitu saja terlewati. Memang ada pesan yang seharusnya tertangkap dari kenyataan tersebut. Bahwa tidak selamanya hidup adalah untuk memeras keringat mencari nafkah, bahwa tidak semua kebutuhan hidup adalah kebutuhan yang besifat ekonomis. Melainkan, ada hal-hal lain yang mungkin lebih indah selain kebahagiaan hedonis, seperti cinta misalnya.
Pada akhirnya, puisi Ayah Karya Abdurahman Faiz menuai maknanya. Walaupun setiap pemaknaan oleh setiap pembaca (interpretator) berbeda-beda satu dengan lainnya, pada akhirnya pasti ada benang merah penghubung, karena pada dasarnya ada sebuah sistem yang sifatnya ideologis, yang melatari setiap kegiatan interpretasi, yaitu kode budaya.
DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Kris. 2003. Semiotika Visual. Yayasan Seni Cemeti: Yogyakarta.

Ratna S. U., Prof. Dr. Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Susanto, SH., MH., Anton Freddy. 2005. Semiotika Hukum, dari dekonstruksi teks menuju progresifitas makna. Bandung: Refika Aditama

Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

ANALISIS STILISTIKA PUISI CHAIRIL ANWAR

ANALISIS STILISTIKA PUISI CHAIRIL ANWAR


PENDAHULUAN

Seseorang yang mempunyai rasa seni yang kental akan menggunakan karya seni itu sebagai medium komunikasi untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada pencintanya. Puisi merupakan suatu karya sastra yang banyak digunakan untuk tujuan tersebut di samping karya seni lain. Jenis karya seni ini masing-masing mempunyai ciri untuk mengungkapkan tujuan. Puisi sebagai karya sastra menggunakan bahasa sebagai medium untuk mengungkapkan makna. Makna tersebut diungkapkan melalui sistem tanda yakni tanda-tanda yang punya arti. Bahasa dalam karya sastra merupakan lambang yang punya arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat atau ditentukan oleh konvensi masyarakat.
Pengamatan terhadap puisi melalui pendekatan struktur untuk menghubungkan suatu tulisan dengan pengalaman bahasanya disebut sebagai analisis statistika. (Widdowson, 1997,13334). Sehubungan dengan itu Nababan (1999,43) mengatakan bahwa statistika memberi suatu sarana bagi pelajar sastra untuk mampu memahami sastra dari tinjauan ilmu linguistik, dan ini diharapkan membantu mereka untuk lebih mampu menikmati sastra. Penikmatan terhadap karya sastra tidak bisa dilakukan tanpa mempertimbangkan struktur. Penikmatan terhadap karya sastra melalui interpretasi keseluruhannya tidak dapat dimulai tanpa pemahaman bagian-bagiannya, tapi interpretasi bagian mengandalkan lebih dahulu pemahaman keseluruhan karya itu (Teeuw 1984, 123). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa interpretasi ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksud inilah yang disebut sebagai hermeneutika.


PEMBAHASAN

Stilistika merupakan ilmu yang mempelajari tentang stile. Stile adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa atau bagaimana seorang penyair mengungkapkan sesuatu hal yang akan dikemukakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1994: 276). Stile atau gaya bahasa merupakan cara ekspresi kebahasaan oleh penyair. Pradopo (1994) menyebutkan bahwa gaya bahasa adalah bagaimana seorang penulis berkata mengenai apapun yang dikatakannya. Dengan kata lain bahasa merupakan penggunaan bahasa atau cara bertutur secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu, baik efek estetis atau efek puitis.
Analisis stilistika merupakan sebuah metode analisis karya sastra. Analisis karya sastra ini bertujuan untuk menggantikan kritik yang sifatnya subjektif dan impresif dengan analisis stile yang sifatnya obyektif dan ilmiah. Untuk memperoleh bukti-bukti konkret stile pada sebuah karya sastra, harus dikaji tanda-tanda yang terdapat dalam sebuah struktur lahir suatu karya sastra. Kajian stile dilakukan dengan menganalisis unsur-unsur stile dalam karya sastra untuk mengetahui konstruksi masing-masing unsur untuk mencapai efek keindahan (estetis) dan unsur yang dominan dalam karya sastra tersebut.
Secara etimologi stylistic berhubungan dengan kata style, artinya gaya, sedangkan stylistic dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya stilistika adalah ilmu pemanfaatan bahasa dalam karya sastra. Stilistika memusatkan perhatian pada style. Style dapat diterjemahkan sebagai bahasa. Sesungguhnya gaya bahasa terdapat dalam segala ragam bahasa, ragam bahasa lisan dan tulisan, ragam non sastra dan sastra, karena gaya bahasa adalah bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu.
Stilistika menurut Sudjiman (1993:3) mangkaji cara sastrawan memanipulasi, dengan arti memanfaatkan kaidah dan unsur yang terdapat dalam bahasa dan efek yang ditimbulkan oleh penggunaanya itu. Atmazaki (1990:94) menyatakan tujuan stilistika adalah untuk menerangkan bagaiman seorang sastrawan memanipulasi penggunaan bahasa dalam karya sastra untuk mengasilkan efek tertentu.
Modal dasar kajian stilistika memang pemahaman atas bahasa. Stilistika sebagai bahasa kha sastra memiliki keunikan tersendiri dibanding bahasa komunikasi sehari-hari. Stilistika adalah bahasa yang telah dicipta dan bahkan direkayasa untuk mewakili ide sastrawan.




Chairil Anwar adalah salah seorang pelopor angkatan 45 yang banyak menulis karya sastra dengan gayanya sendiri. Gaya pada dasarnya merupakan cara yang digunakan penutur dalam memaparkan gagasan sejalan dengan tujuan dan motif yang melatarbelakanginya. Guna mencapai tujuan dengan berbagai motif tersebut penutur selain secara kreatif menggarap aspek isi tuturannya juga menggarap bentuk perlambangan sebagaimana terwujud dalam system tandasnya dengan harapan dapat mewujudkan paparannya yang hidup dan imajinatif, padat dan kaya, gagasan jernih tapi sublimatis, dan gagasan yang kompleks.
Penggunaan gaya juga diarahkan oleh bentuk karya sastra yang ingin dihasilkan, Puisi misalnya gaya pengolahan gagasan maupun penataan bentuknya berbeda dengan bentuk prosa fiksi. Salah satu yang dimiliki oleh penyair ini adalah kemampuannya pada penggunaan bunyi dalam karya sastranya yang terjadi antara bunyi vokal dan konsnonan. Hal itu dapat dikaji lewat puisi berjudul Kawanku dan Aku, karya Chairil Anwar. Kutipan selengkapnya puisi tersebut sebagai berikut

KAWANKU DAN AKU

Kami sama pejalan larut
Menembus kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal di pelabuhan

Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat
Siapa berkata-kata?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga
Dia bertanya jam berapa!

Sudah larut sekali
Hilang tenggelam segala makna
Dan gerak tak punya arti

Pada puisi diatas, selain dapat ditemukan adanya asonasi, misalnya antara bunyi [a] pada kata hujan dengan [a] pada kata badan, juga dapat ditemukan sejumlah paduan bunyi konsonan. Pada larik pertama puisi di atas, yang berbunyi Kami sama pejalan larut, dapat ditemukan pengulangan bunyi [m] pada kata kami, dan [m] pada kata sama. Selain itu, ditinjau dari hubungan antarlarik, juga dapat ditemukan adanya paduan bunyi [-ut] pada kata larut dan [-ut] pada kata kabut. Bentuk paduan bunyi yang lain pada bait pertama puisi di atas adalah antara bunyi [n] pada kata hujan, dan [n] pada kata badan,pada larik Hujan mengucur badan, maupun pada kata berkakuan dan pelabuhan pada larik Berkakuan di pelabuhan. Paduan bunyi tersebut juga dapat ditemukan pada hubungan suku akhir kata larik ketiga dan keempat.
Paduan bunyi konsonan antara kata-kata dalam satuan larik yang sama lazim disebut aliterasi. Cummings dan Simmons mengemukakan bahwa, Alliteration“ the repetition of an initial sound in different words, usually a consonant (Cummings, Michael, 1986:10). Dalam hal ini ada juga yang membatasi paduan bunyi konsonan sebagai aliterasi tersebut hanya pada bunyi konsonan pada awal kata-kata yang berbeda pada satuan larik yang sama. Apabila perulangan bunyi konsonan pada awal kata atau pada awal suku berikutnya disebut aliterasi, perulangan bunyi konsonan pada akhir kata, baik itu diawali oleh bunyi vokal yang sama atau yang berbeda disebut konsonansi. Pada puisi diatas perulangan secara demikian dapat ditemukan pada paduan bunyi [n] pada kata hujan dan [n] pada kata pelabuhan. Cummings dan Simmons dalam hal ini mengemukakan bahwa, Consonance is basically repetition of the end consonant, but with a different vowel and the same, or different (1986: 28) sebagai mana telah disinggung didepan, perulangan bunyi konsonan itu juga dapat ditemukan pada kata berkakuan dan pelabuhan pada larik Berkakuan kapal di Pelabuhan.
Paduan bunyi konsonan yang sama, diawali oleh bunyi vokal yang sama pada akhir larik yang berbeda tetapi berurutan disebut rima. Terdapatnya rima pada puisi diatas misalnya antara [-ut] pada kata larut sebagai kata yang terdapat pada akhir larik Kami sama pejalan larut dengan [-ut] pada kata kabut sebagai kata yang ada pada akhir larik Menembus kabut. Apa bila diperhatikan, larik Kami sama pejalan larut dan larik menembus kabut, ada secara berurutan. Paduan bunyi secara demikian juga dapat ditemukan pada paduan [-an] pada kata badan dan pada larik Hujan mengucur badan, dengan [-an] pada berkakuan pada larik Berkakuan kapal di pelabuhan.
Sebutan rima juga dapat dirujukkan pada paduan bunyi vokal dari kata-kata pada akhir larik yang berbeda. Rima secara demikian diistilahkan rima vokal (vowel rhyme). Pada puisi berjudul Kawanku dan Aku, rima vokal itu dapat ditemukan pada larik siapa berkata-kata? kawanku hanya rangka saja/ karena dera mengelucak tenaga. Sementara paduan bunyi [I] pada larik Sudah larut sekali, dengan [I] pada larik Dan gerak tak punya arti dapat disebut sebagai rima patah (Zaidan, 1991:117) dibentuk demikian karena paduan bunyi antara bunyi vokal pada larik yang berbeda tersebut diselingi oleh larik yang mengandung bunyi vokal yang berbeda. Larik yang menyelingi adalah Hilang tenggelam segala makna.
Selain kemampuannya dalam penggunaan bunyi Chairil Anwar juga memliki kreasi dalam penggunaan bahasa kias pada puisi.
Kreasi penciptaan karya sastra selain mengutamakan kekhasan juga mengutamakan kebaharuan. Sejumlah ciri pada puisi Goenawan Muhammad misalnya, tidak dapat begitu saja dirapatkan pada puisi-puisi karya Soebagio Sastrowardojo, Rendra, dan lain-lain. Untuk lebih mempertegas kemungkinan perbedaan atau mungkin juga kesamaan ciri antara ciri penggunaan bahasa kias dalam puisi Expatriate karya Goenawan Muhammad dengan karya puisi lain dari penyair yang berlainan pula, di bawah ini dilakukan pembahasan bahasa kias dari salah satu puisi Chairil Anwar berjudul Kawanku dan Aku. Guna memudahkan pembahasan, puisi tersebut dikutipkan kembali sebagai berikut.
Bertolak dari hasil pembacaan puisi di atas secara keseluruhan dapat diperoleh gambaran bahwa ditinjau dari tautan pendarannya, puisi di atas memilki tiga tautan pendaran. Ketiga tautan pendaran itu ditandai oleh terdapatnya fonem anaforik /t/, /n/, dan /a/. sementara ditinjau dari kemungkinan fokus pembicaraannya, puisi di atas pada intinya berbicara tentang (1) aku dan kawanku sebagai manusia, (ii) perjalan aku dan kawanku dalam menempuh kehidupan, (iii) hubungan antara aku, kawanku, kehidupan dan waktu, dan (iv) makna kehidupan bagi aku/kawanku. Pemahaman butir-butir di atas meskipun baru bersifat umum paling tidak sudah dapat disajikan bahan pemetaan kemungkinan hubungan antara pengiasan pada larik yang satu dengan yang lain, hubungan antara pengiasan tersebut dengan kemungkinan ciri citraan dan gagasan yang dinuansakannya.
Pada bait pertama puisi di atas terdapat larik yang berbunyi Kami sama pejalan larut. Seandainya larik tersebut berbunyi Kami sama-sama pejalan kaki, misalnya, mungkin tidak terlalu memberikan kesan aneh. Akibat terdapatnya kombinasi kata-kata yang aneh tersebut paling tidak pembaca dalam mengambil keputusan bahwa acuan dari Pejalan larut bukan lagi hanya berhubungan dengan apa yang lazim disebut sebagai pejalan melainkan juga merujuk pada sesuatu yang tidak dinyatakan secara langsung. Selain itu juga dapat diperoleh gambaran bahwa pada kata pejalan pada dasarnya dapat diartikan sebagai orang yang pekerjaannya berjalan. Dengan demikian keseluruhan ciri yang ada pada kami pada dasarnya bisa ada pada pejalan, karena kami pada dasarnya adalah orang.
Sebaliknya tidak semua orang dapat disebut sebagai pejalan sehingga bentuk simbolik pejalan larut dapat ditentukan sebagai salah satu ciri khusus yang diacukan pada Aku dan Kawanku. Dalam konteks keberadaan kami sebagai orang demikian pejalan larut hanya merupakan salah satu ciri yang dijadikan wakil dari keseluruhan ciri yang ada pada kami. Dengan demikian larik Kami sama pejalan larut dapat ditentukan merupakan bentuk bahasa kias metonimi. Dalam hal ini pembaca perlu juga mengajukan pertanyaan menyangkut penggunaan bentuk simbolik larut.
Dinyatakan demikian karena dalam Bahasa Indonesia kata larut dapat mengacu pada waktu, misalnya malam sudah larut, mengacu pada ketiadaan sesuatu, misalnya gula itu sudah larut dalam air. Dalam bentuk lain, kata larut juga dapat berada dalam bentuk Upaya dalam memecahkan masalah itu justru semakin berlarut-larut.
Memang ada kemungkinan pemilihan kata larut tersebut juga didasari oleh kekayaan matra acuannya. Kata larut pada malam sudah larut antara lain dapat menggambarkan suasana sepi, kekosongan. Sementara larut dalam gula itu sudah larut dalam air, dapat menggambarkan ketiadaan bentuk, ketidakjelasan eksistensi. Pada kalimat pemecahan masalah itu semakin-makin berlarut-larut menggambarkan ketidakjelasan dan ketidakpastian. Apabila dikembalikan pada keberadaan manusia, bukankah dia bisa saja merasa dirinya hampa, tidak memilki ketidakjelasan eksistensi dan dihadapkan pada segala sesuatu yang tidak pasti?
Kakaburan aspek referensial pada larut yang justru mampu memperkaya nuansa maknanya dapat dibandingkan dengan pemilihan bentuk simbolik memutih pada larik memutih tengah malam dalam puisi Expatriate. Hal itu mempertegas penyimpulan bahwa pengayaan gagasan dalam puisi bukan hanya mungkin dilakukan dalam pemanfaatan sebuah citraan, misalnya binatang jalang yang hanya mengacu pada X = binatang yang jalang, melainkan juga ditempuh melalui penggandaan X sehingga bentuk simbolik tersebut bukan hanya mengacu pada X, melainkan bisa X1, X2, X3, dan seterusnya. Kegandaan citraan tersebut lebih lanjut juga menyebabkan kegandaan fokus penuansaan maknanya sekaligus sebagai gagasan yang diimplikasikan. Dengan demikian larik Kami sama dengan pejalan larut dapat ditentukan sebagai sinekdot yang diperkaya melalui pemilihan kata yang dapat menampilkan citraan secara ganda.
Larik menembus kabut juga dapat ditetapkan sebagai bentuk bahasa kias. Dinyatakan demikian karena kabut merupakan sesuatu yang ditempuh kami sebagai pejalan larut. Tidak berbeda dengan penggunaan kabut pada larik pagi tumbuh dalam kabut yang itu juga, yang ditafsirkan bahwa bentuk simbolik kabut pada larik menembus kabut juga berhubungan dengan ketidakjelasan, dengan misteri. Perbedaannya, penggunaan bentuk simbolik kabut pada larik tersebut ada dalam konstruksi yang salah satu unsur fungsionalnya dilepaskan. Unsur tersebut adalah kami. Ditinjau dari klasifikasiannya, larik menembus kabut merupakan bentuk metafor.
Pada larik hujan mengucur badan ditemukan adanya hubungan semantis yang tidak lazim karena hujan pada larik tersebut diberi ciri insani.
Pemberian ciri insani pada hujan pada sisi lain juga disertai pengkomposisian badan sebagai obyek. Jika dilihat kenyataannya secara konkret, badan yang dinyatakan dikucuri hujan bisa juga hanya merupakan bagian dari keseluruhan yang merasa dikucuri hujan. Dengan kata lain pada larik tersebut selain ditemukan gejala personifikasi juga ditemukan gejala sinekdok. Guna menyederhanakan penyebutannya, jenis bahasa kias yang terdapat pada larik tersebut adalah bahasa kias campuran.
Antara larik hujan mengucur badan dan berkakuan kapal dipelabuhan terdapat hubungan sebab akibat. Dengan kata lain, berkakuannya kapal dipelabuhan seakan-akan disebabkan oleh hujan mengucur badan. Ditinjau dari objek yang diacu, larik berkakuan kapal di pelabuhan menampilkan citraan kapal yang ada di pelabuhan. Tetapi berbeda dengan kapal di pelabuhan yang hilir mudik, datang dan pergi, kapal tersebut kaku. Dengan demikian, kapal maupun pelabuhan hanya merupakan kiasan dari sesuatu yang tidak dinyatakan secara langsung. Guna menentukan apa yang diperbandingkan dengan kapal maupun pelabuhan, pembaca perlu menghubungkan kembali dengan badan dan larik hujan mengucur badan. Dari hasil penghubungan itu paling tidak dapat memperoleh gambaran bentuk ekspresi yang tidak dapat mengarungi laut karena kaku.
Dalam hal ini patut disadari bahwa berkakuan yang dikenakan pada kapal merupakan sesuatu yang tidak lazim karena kapal merupakan benda yang tidak bernyawa. Sebab itu bentuk simbolik kaku tidak dapat dimaknai sebagai kata kaku pada umumnya. Ditinjau dari hubungannya dengan kata kapal penggunaan bentuk simbolik kaku dapat memberi ciri insani pada kapal. Dengan kata lain, larik tersebut mengandung dua cara pengisian. Yang pertama melalui personifikasi kapal yang diberi ciri bernyawa. Kedua melalui melalui perbandingan antara kapal dan pelabuhan dengan X yang tidak dinyatakan secara langsung. Bentuk perbandingan secara demikian, dapat dikategorikan sebagai metafora terselubung. Dari terdapatnya dua bentuk pengiasan secara demikian, larik tersebut dapat dinyatakan menggunakan bahasa kias ataupun metafor campuran.
Larik darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat merupakan satuan larik yang ditinjau dari cara penulisannya juga berkedudukan sebagai bait. Dalam bahasa Indonesia, kata pekat untuk barang cair yang bernama likat, kental$, maupun tidak jernih. Sementara untuk benda lain kata tersebut dapat bermakna keras, liat. Penghubungan kata darah dengan salah satu kemungkinan makna denotatifnya pada dasarnya dapat mempertegas kemungkinan makna tersiratnya. Dinyatakan demikian, kentalnya darah bagi penutup bahasa Indonesia ada juga yang membayangkannya sebagai kekuatan. Tetapi dari yang keras? Dalam hal demikian, fonem anaforik /t/ pada pekat dan pedat yang merujuk pada larut dan kabut dapat dijadikan dasar penafsiran. Dihubungkan dengan dua bentuk, simbolik tersebut dapat ditafsirkan bahwa bentuk simbolik pekat patut dimaknai sebagai keras dan liat yang mengacu pada ketiadaan semangat kehidupan.
Bertolak dari gambaran seperti diatas dapat diambil kesimpulan bahwa darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat merupakan bentuk bahasa kias. Pada bentuk bahasa kias tersebut, bentuk simbolik darah pada dasarnya hanya mewakili keseluruhan diri ataupun keberadaan aku. Dengan kata lain pada larik tersebut dapat ditemukan bahasa kias sinekdok. Karena pengiasannya dapat juga dinyatakan sebagai bentuk pengiasan pars pro toto, atau sebagian mewakili keseluruhannya.
Penggunaan bentuk simbolik yang dari ciri denotasi maknanya saja sudah bersifat ganda seperti diatas dapat juga dibandingkan dengan penggunaan simbolik putih pada larik memutih tengah malam dalam puisi Ekspatriate. Pada bentuk simbolik tersebut, memutih dapat menggambarkan sesuatu yang semula tidak tampak kemudian tampak sebagai sesuatu yang putih, sesuatu yang tidak putih kemudian menjadi putih, sesuatu yang jelas, dan lain sebagainya. Apabila pada puisi Kawanku dan Aku penyair menggunakan kata dasar, pada puisi Expartriate penyair memanfaatkan efeksemantis pemberian imbuhan. Dalam hal ini adalah awalan “me.
kembali pada puisi kawanku dan Aku. Larik siapa berkata-kata dapat ditentukan sebagai apostrof. Sementara larik kawanku hanya rangka saja dapat ditentukan sebagai bentuk bahasa kias. Pada larik tersebut bentuk simbolik rangka secara tidak lansung dapat diperbandingkan mati, ketiadaan kekuatan hidup, dan lain sebagainya. Dalam bahasa Indonesia pernyataan tubuhnya tinggal rangka lazim digunakan untuk menggambarkan orang yang sedemikian kurus yang tidak memiliki kekuatan hidup. Bertolak dari gambaran pengertian demikian dapat ditentukan bahwa larik tersebut merupakan bentuk bahasa kias metafora. Sementara pada larik berikutnya, karena derah mengelucak tenaga dapat ditemukan bahasa kias personifikasi. Dinyatakan demikian karena dera sebagai salah satu yang tidak berkesadaran dinyatakan mengelucak.
Larik dia bertanya jam berapa? Ditinjau dari hubungannya dengan sudah larut sekali dapat ditafsirkan sebagai bentuk bahasa kias. Dinyatakan demikian karena pertanyaan tentang jam lazimnya diikuti jawaban yang merujuk pada angka. Sedangkan pada larik tersebut, jam dihubungkan dengan larut. Pada sisi lain penggunaan dia pada larik tersebut bisa merujuk pada pesona yang tidak hadir secara langsung sebagai bentuk simbolik, kata jam pada larik tersebut pada dasarnya digunakan untuk menyatakan waktu. Dengan demikian pada larik tersebut dapat ditemukan bahasa kias metonimi.
Pada larik sudah larut sekali, kembali dapat ditemukan bentuk simbolik larut tetapi berbeda dengan penggunaan bentuk simbolik larut pada larik kami sama pejalan larut, bentuk simbolik larut pada larik tersebut rujukannya jelas pada waktu. Dinyatakan demikian karena larik tersebut merupakan jawaban dari Dia bertanya jam berapa? Tidak berbeda dengan larik sebelumnya larik tersebut juga dapat ditafsirkan bersifat metonimik. Ditafsirkan demikian karena pernyataan sudah larut sekali dapat digunakan untuk menggambarkan puncak waktu ketiadaan aktivitas dengan ruang kehidupan. Hal itu dipertegas lewat pengunaan metafora hilang tenggelam segala makna/dan gerak tak punya arti.


PENUTUP

Bertolak dari pembahasan di atas, dapat diperoleh gambaran bahwa gaya pada dasarnya hanya merupakan alat. Sebagai alat gaya dapat digunakan untuk mengatasi keterbatasan bahasa dalam mengekspresikan gagasan maupun berbagai efek emotif, yang ingin dibuahkan penuturnya. Ditinjau dari segi penggunaanya, penggunaan gaya sebagai alat bersifat tetnatitif..Penggunaanya bisa memilih beberapa gaya tertentu dengan mengabaikan kemungkinan penggunaan jenis gaya yang lain. Dari gaya yang digunakan itu pun pengguna bisa mengkreasikan ulang dan memanipulasikannya sesuai dengan gaya dan efek yang dicapai..
Menyangkut hal yang terakhir, antara penyair yang satu dengan yang lain bisa berbeda-beda. Yang paling umum, perbedaan itu merujuk pada kata-kata yang dikombinasikan, bentuk simbolik yang dikreasikan, konstruksi, dan penguntaian bentuk gaya bahasanya dalam untaian secara sintagmatis. Hal itu sebenarnya juga sangat ditentukan oleh karakteristik gagasan, suasana, dan latar ideologis penyairnya. Pada puisi Kawanku dan Aku misalnya, latar ideologis itu dicerahi oleh wawasan filsafat tertentu. Dalam hal ini adalah filsafat eksistensi. Sementara pada puisi Ekspariate wawasan ideologis itu harus dihubungkan dengan wawasan nilai religiusitas. Sesuai denagan keagamaan penyairnya, nilai religiusitas itu berkaitan dengan keimanan dalam islam.

ANALISIS STILISTIKA PUISI CHAIRIL ANWAR

ANALISIS STILIS

PENDAHULUAN

Seseorang yang mempunyai rasa seni yang kental akan menggunakan karya seni itu sebagai medium komunikasi untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada pencintanya. Puisi merupakan suatu karya sastra yang banyak digunakan untuk tujuan tersebut di samping karya seni lain. Jenis karya seni ini masing-masing mempunyai ciri untuk mengungkapkan tujuan. Puisi sebagai karya sastra menggunakan bahasa sebagai medium untuk mengungkapkan makna. Makna tersebut diungkapkan melalui sistem tanda yakni tanda-tanda yang punya arti. Bahasa dalam karya sastra merupakan lambang yang punya arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat atau ditentukan oleh konvensi masyarakat.

Pengamatan terhadap puisi melalui pendekatan struktur untuk menghubungkan suatu tulisan dengan pengalaman bahasanya disebut sebagai analisis statistika. (Widdowson, 1997,13334). Sehubungan dengan itu Nababan (1999,43) mengatakan bahwa statistika memberi suatu sarana bagi pelajar sastra untuk mampu memahami sastra dari tinjauan ilmu linguistik, dan ini diharapkan membantu mereka untuk lebih mampu menikmati sastra. Penikmatan terhadap karya sastra tidak bisa dilakukan tanpa mempertimbangkan struktur. Penikmatan terhadap karya sastra melalui interpretasi keseluruhannya tidak dapat dimulai tanpa pemahaman bagian-bagiannya, tapi interpretasi bagian mengandalkan lebih dahulu pemahaman keseluruhan karya itu (Teeuw 1984, 123). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa interpretasi ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksud inilah yang disebut sebagai hermeneutika.

PEMBAHASAN

Stilistika merupakan ilmu yang mempelajari tentang stile. Stile adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa atau bagaimana seorang penyair mengungkapkan sesuatu hal yang akan dikemukakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1994: 276). Stile atau gaya bahasa merupakan cara ekspresi kebahasaan oleh penyair. Pradopo (1994) menyebutkan bahwa gaya bahasa adalah bagaimana seorang penulis berkata mengenai apapun yang dikatakannya. Dengan kata lain bahasa merupakan penggunaan bahasa atau cara bertutur secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu, baik efek estetis atau efek puitis.

Analisis stilistika merupakan sebuah metode analisis karya sastra. Analisis karya sastra ini bertujuan untuk menggantikan kritik yang sifatnya subjektif dan impresif dengan analisis stile yang sifatnya obyektif dan ilmiah. Untuk memperoleh bukti-bukti konkret stile pada sebuah karya sastra, harus dikaji tanda-tanda yang terdapat dalam sebuah struktur lahir suatu karya sastra. Kajian stile dilakukan dengan menganalisis unsur-unsur stile dalam karya sastra untuk mengetahui konstruksi masing-masing unsur untuk mencapai efek keindahan (estetis) dan unsur yang dominan dalam karya sastra tersebut.

Secara etimologi stylistic berhubungan dengan kata style, artinya gaya, sedangkan stylistic dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya stilistika adalah ilmu pemanfaatan bahasa dalam karya sastra. Stilistika memusatkan perhatian pada style. Style dapat diterjemahkan sebagai bahasa. Sesungguhnya gaya bahasa terdapat dalam segala ragam bahasa, ragam bahasa lisan dan tulisan, ragam non sastra dan sastra, karena gaya bahasa adalah bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu.

Stilistika menurut Sudjiman (1993:3) mangkaji cara sastrawan memanipulasi, dengan arti memanfaatkan kaidah dan unsur yang terdapat dalam bahasa dan efek yang ditimbulkan oleh penggunaanya itu. Atmazaki (1990:94) menyatakan tujuan stilistika adalah untuk menerangkan bagaiman seorang sastrawan memanipulasi penggunaan bahasa dalam karya sastra untuk mengasilkan efek tertentu.

Modal dasar kajian stilistika memang pemahaman atas bahasa. Stilistika sebagai bahasa kha sastra memiliki keunikan tersendiri dibanding bahasa komunikasi sehari-hari. Stilistika adalah bahasa yang telah dicipta dan bahkan direkayasa untuk mewakili ide sastrawan.

Chairil Anwar adalah salah seorang pelopor angkatan 45 yang banyak menulis karya sastra dengan gayanya sendiri. Gaya pada dasarnya merupakan cara yang digunakan penutur dalam memaparkan gagasan sejalan dengan tujuan dan motif yang melatarbelakanginya. Guna mencapai tujuan dengan berbagai motif tersebut penutur selain secara kreatif menggarap aspek isi tuturannya juga menggarap bentuk perlambangan sebagaimana terwujud dalam system tandasnya dengan harapan dapat mewujudkan paparannya yang hidup dan imajinatif, padat dan kaya, gagasan jernih tapi sublimatis, dan gagasan yang kompleks.

Penggunaan gaya juga diarahkan oleh bentuk karya sastra yang ingin dihasilkan, Puisi misalnya gaya pengolahan gagasan maupun penataan bentuknya berbeda dengan bentuk prosa fiksi. Salah satu yang dimiliki oleh penyair ini adalah kemampuannya pada penggunaan bunyi dalam karya sastranya yang terjadi antara bunyi vokal dan konsnonan. Hal itu dapat dikaji lewat puisi berjudul Kawanku dan Aku, karya Chairil Anwar. Kutipan selengkapnya puisi tersebut sebagai berikut

KAWANKU DAN AKU

Kami sama pejalan larut

Menembus kabut

Hujan mengucur badan

Berkakuan kapal di pelabuhan

Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat

Siapa berkata-kata?

Kawanku hanya rangka saja

Karena dera mengelucak tenaga

Dia bertanya jam berapa!

Sudah larut sekali

Hilang tenggelam segala makna

Dan gerak tak punya arti

Pada puisi diatas, selain dapat ditemukan adanya asonasi, misalnya antara bunyi [a] pada kata hujan dengan [a] pada kata badan, juga dapat ditemukan sejumlah paduan bunyi konsonan. Pada larik pertama puisi di atas, yang berbunyi Kami sama pejalan larut, dapat ditemukan pengulangan bunyi [m] pada kata kami, dan [m] pada kata sama. Selain itu, ditinjau dari hubungan antarlarik, juga dapat ditemukan adanya paduan bunyi [-ut] pada kata larut dan [-ut] pada kata kabut. Bentuk paduan bunyi yang lain pada bait pertama puisi di atas adalah antara bunyi [n] pada kata hujan, dan [n] pada kata badan,pada larik Hujan mengucur badan, maupun pada kata berkakuan dan pelabuhan pada larik Berkakuan di pelabuhan. Paduan bunyi tersebut juga dapat ditemukan pada hubungan suku akhir kata larik ketiga dan keempat.

Paduan bunyi konsonan antara kata-kata dalam satuan larik yang sama lazim disebut aliterasi. Cummings dan Simmons mengemukakan bahwa, Alliteration“ the repetition of an initial sound in different words, usually a consonant (Cummings, Michael, 1986:10). Dalam hal ini ada juga yang membatasi paduan bunyi konsonan sebagai aliterasi tersebut hanya pada bunyi konsonan pada awal kata-kata yang berbeda pada satuan larik yang sama. Apabila perulangan bunyi konsonan pada awal kata atau pada awal suku berikutnya disebut aliterasi, perulangan bunyi konsonan pada akhir kata, baik itu diawali oleh bunyi vokal yang sama atau yang berbeda disebut konsonansi. Pada puisi diatas perulangan secara demikian dapat ditemukan pada paduan bunyi [n] pada kata hujan dan [n] pada kata pelabuhan. Cummings dan Simmons dalam hal ini mengemukakan bahwa, Consonance is basically repetition of the end consonant, but with a different vowel and the same, or different (1986: 28) sebagai mana telah disinggung didepan, perulangan bunyi konsonan itu juga dapat ditemukan pada kata berkakuan dan pelabuhan pada larik Berkakuan kapal di Pelabuhan.

Paduan bunyi konsonan yang sama, diawali oleh bunyi vokal yang sama pada akhir larik yang berbeda tetapi berurutan disebut rima. Terdapatnya rima pada puisi diatas misalnya antara [-ut] pada kata larut sebagai kata yang terdapat pada akhir larik Kami sama pejalan larut dengan [-ut] pada kata kabut sebagai kata yang ada pada akhir larik Menembus kabut. Apa bila diperhatikan, larik Kami sama pejalan larut dan larik menembus kabut, ada secara berurutan. Paduan bunyi secara demikian juga dapat ditemukan pada paduan [-an] pada kata badan dan pada larik Hujan mengucur badan, dengan [-an] pada berkakuan pada larik Berkakuan kapal di pelabuhan.

Sebutan rima juga dapat dirujukkan pada paduan bunyi vokal dari kata-kata pada akhir larik yang berbeda. Rima secara demikian diistilahkan rima vokal (vowel rhyme). Pada puisi berjudul Kawanku dan Aku, rima vokal itu dapat ditemukan pada larik siapa berkata-kata? kawanku hanya rangka saja/ karena dera mengelucak tenaga. Sementara paduan bunyi [I] pada larik Sudah larut sekali, dengan [I] pada larik Dan gerak tak punya arti dapat disebut sebagai rima patah (Zaidan, 1991:117) dibentuk demikian karena paduan bunyi antara bunyi vokal pada larik yang berbeda tersebut diselingi oleh larik yang mengandung bunyi vokal yang berbeda. Larik yang menyelingi adalah Hilang tenggelam segala makna.

Selain kemampuannya dalam penggunaan bunyi Chairil Anwar juga memliki kreasi dalam penggunaan bahasa kias pada puisi.

Kreasi penciptaan karya sastra selain mengutamakan kekhasan juga mengutamakan kebaharuan. Sejumlah ciri pada puisi Goenawan Muhammad misalnya, tidak dapat begitu saja dirapatkan pada puisi-puisi karya Soebagio Sastrowardojo, Rendra, dan lain-lain. Untuk lebih mempertegas kemungkinan perbedaan atau mungkin juga kesamaan ciri antara ciri penggunaan bahasa kias dalam puisi Expatriate karya Goenawan Muhammad dengan karya puisi lain dari penyair yang berlainan pula, di bawah ini dilakukan pembahasan bahasa kias dari salah satu puisi Chairil Anwar berjudul Kawanku dan Aku. Guna memudahkan pembahasan, puisi tersebut dikutipkan kembali sebagai berikut.

Bertolak dari hasil pembacaan puisi di atas secara keseluruhan dapat diperoleh gambaran bahwa ditinjau dari tautan pendarannya, puisi di atas memilki tiga tautan pendaran. Ketiga tautan pendaran itu ditandai oleh terdapatnya fonem anaforik /t/, /n/, dan /a/. sementara ditinjau dari kemungkinan fokus pembicaraannya, puisi di atas pada intinya berbicara tentang (1) aku dan kawanku sebagai manusia, (ii) perjalan aku dan kawanku dalam menempuh kehidupan, (iii) hubungan antara aku, kawanku, kehidupan dan waktu, dan (iv) makna kehidupan bagi aku/kawanku. Pemahaman butir-butir di atas meskipun baru bersifat umum paling tidak sudah dapat disajikan bahan pemetaan kemungkinan hubungan antara pengiasan pada larik yang satu dengan yang lain, hubungan antara pengiasan tersebut dengan kemungkinan ciri citraan dan gagasan yang dinuansakannya.

Pada bait pertama puisi di atas terdapat larik yang berbunyi Kami sama pejalan larut. Seandainya larik tersebut berbunyi Kami sama-sama pejalan kaki, misalnya, mungkin tidak terlalu memberikan kesan aneh. Akibat terdapatnya kombinasi kata-kata yang aneh tersebut paling tidak pembaca dalam mengambil keputusan bahwa acuan dari Pejalan larut bukan lagi hanya berhubungan dengan apa yang lazim disebut sebagai pejalan melainkan juga merujuk pada sesuatu yang tidak dinyatakan secara langsung. Selain itu juga dapat diperoleh gambaran bahwa pada kata pejalan pada dasarnya dapat diartikan sebagai orang yang pekerjaannya berjalan. Dengan demikian keseluruhan ciri yang ada pada kami pada dasarnya bisa ada pada pejalan, karena kami pada dasarnya adalah orang.

Sebaliknya tidak semua orang dapat disebut sebagai pejalan sehingga bentuk simbolik pejalan larut dapat ditentukan sebagai salah satu ciri khusus yang diacukan pada Aku dan Kawanku. Dalam konteks keberadaan kami sebagai orang demikian pejalan larut hanya merupakan salah satu ciri yang dijadikan wakil dari keseluruhan ciri yang ada pada kami. Dengan demikian larik Kami sama pejalan larut dapat ditentukan merupakan bentuk bahasa kias metonimi. Dalam hal ini pembaca perlu juga mengajukan pertanyaan menyangkut penggunaan bentuk simbolik larut.

Dinyatakan demikian karena dalam Bahasa Indonesia kata larut dapat mengacu pada waktu, misalnya malam sudah larut, mengacu pada ketiadaan sesuatu, misalnya gula itu sudah larut dalam air. Dalam bentuk lain, kata larut juga dapat berada dalam bentuk Upaya dalam memecahkan masalah itu justru semakin berlarut-larut.

Memang ada kemungkinan pemilihan kata larut tersebut juga didasari oleh kekayaan matra acuannya. Kata larut pada malam sudah larut antara lain dapat menggambarkan suasana sepi, kekosongan. Sementara larut dalam gula itu sudah larut dalam air, dapat menggambarkan ketiadaan bentuk, ketidakjelasan eksistensi. Pada kalimat pemecahan masalah itu semakin-makin berlarut-larut menggambarkan ketidakjelasan dan ketidakpastian. Apabila dikembalikan pada keberadaan manusia, bukankah dia bisa saja merasa dirinya hampa, tidak memilki ketidakjelasan eksistensi dan dihadapkan pada segala sesuatu yang tidak pasti?

Kakaburan aspek referensial pada larut yang justru mampu memperkaya nuansa maknanya dapat dibandingkan dengan pemilihan bentuk simbolik memutih pada larik memutih tengah malam dalam puisi Expatriate. Hal itu mempertegas penyimpulan bahwa pengayaan gagasan dalam puisi bukan hanya mungkin dilakukan dalam pemanfaatan sebuah citraan, misalnya binatang jalang yang hanya mengacu pada X = binatang yang jalang, melainkan juga ditempuh melalui penggandaan X sehingga bentuk simbolik tersebut bukan hanya mengacu pada X, melainkan bisa X1, X2, X3, dan seterusnya. Kegandaan citraan tersebut lebih lanjut juga menyebabkan kegandaan fokus penuansaan maknanya sekaligus sebagai gagasan yang diimplikasikan. Dengan demikian larik Kami sama dengan pejalan larut dapat ditentukan sebagai sinekdot yang diperkaya melalui pemilihan kata yang dapat menampilkan citraan secara ganda.

Larik menembus kabut juga dapat ditetapkan sebagai bentuk bahasa kias. Dinyatakan demikian karena kabut merupakan sesuatu yang ditempuh kami sebagai pejalan larut. Tidak berbeda dengan penggunaan kabut pada larik pagi tumbuh dalam kabut yang itu juga, yang ditafsirkan bahwa bentuk simbolik kabut pada larik menembus kabut juga berhubungan dengan ketidakjelasan, dengan misteri. Perbedaannya, penggunaan bentuk simbolik kabut pada larik tersebut ada dalam konstruksi yang salah satu unsur fungsionalnya dilepaskan. Unsur tersebut adalah kami. Ditinjau dari klasifikasiannya, larik menembus kabut merupakan bentuk metafor.

Pada larik hujan mengucur badan ditemukan adanya hubungan semantis yang tidak lazim karena hujan pada larik tersebut diberi ciri insani.

Pemberian ciri insani pada hujan pada sisi lain juga disertai pengkomposisian badan sebagai obyek. Jika dilihat kenyataannya secara konkret, badan yang dinyatakan dikucuri hujan bisa juga hanya merupakan bagian dari keseluruhan yang merasa dikucuri hujan. Dengan kata lain pada larik tersebut selain ditemukan gejala personifikasi juga ditemukan gejala sinekdok. Guna menyederhanakan penyebutannya, jenis bahasa kias yang terdapat pada larik tersebut adalah bahasa kias campuran.

Antara larik hujan mengucur badan dan berkakuan kapal dipelabuhan terdapat hubungan sebab akibat. Dengan kata lain, berkakuannya kapal dipelabuhan seakan-akan disebabkan oleh hujan mengucur badan. Ditinjau dari objek yang diacu, larik berkakuan kapal di pelabuhan menampilkan citraan kapal yang ada di pelabuhan. Tetapi berbeda dengan kapal di pelabuhan yang hilir mudik, datang dan pergi, kapal tersebut kaku. Dengan demikian, kapal maupun pelabuhan hanya merupakan kiasan dari sesuatu yang tidak dinyatakan secara langsung. Guna menentukan apa yang diperbandingkan dengan kapal maupun pelabuhan, pembaca perlu menghubungkan kembali dengan badan dan larik hujan mengucur badan. Dari hasil penghubungan itu paling tidak dapat memperoleh gambaran bentuk ekspresi yang tidak dapat mengarungi laut karena kaku.

Dalam hal ini patut disadari bahwa berkakuan yang dikenakan pada kapal merupakan sesuatu yang tidak lazim karena kapal merupakan benda yang tidak bernyawa. Sebab itu bentuk simbolik kaku tidak dapat dimaknai sebagai kata kaku pada umumnya. Ditinjau dari hubungannya dengan kata kapal penggunaan bentuk simbolik kaku dapat memberi ciri insani pada kapal. Dengan kata lain, larik tersebut mengandung dua cara pengisian. Yang pertama melalui personifikasi kapal yang diberi ciri bernyawa. Kedua melalui melalui perbandingan antara kapal dan pelabuhan dengan X yang tidak dinyatakan secara langsung. Bentuk perbandingan secara demikian, dapat dikategorikan sebagai metafora terselubung. Dari terdapatnya dua bentuk pengiasan secara demikian, larik tersebut dapat dinyatakan menggunakan bahasa kias ataupun metafor campuran.

Larik darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat merupakan satuan larik yang ditinjau dari cara penulisannya juga berkedudukan sebagai bait. Dalam bahasa Indonesia, kata pekat untuk barang cair yang bernama likat, kental$, maupun tidak jernih. Sementara untuk benda lain kata tersebut dapat bermakna keras, liat. Penghubungan kata darah dengan salah satu kemungkinan makna denotatifnya pada dasarnya dapat mempertegas kemungkinan makna tersiratnya. Dinyatakan demikian, kentalnya darah bagi penutup bahasa Indonesia ada juga yang membayangkannya sebagai kekuatan. Tetapi dari yang keras? Dalam hal demikian, fonem anaforik /t/ pada pekat dan pedat yang merujuk pada larut dan kabut dapat dijadikan dasar penafsiran. Dihubungkan dengan dua bentuk, simbolik tersebut dapat ditafsirkan bahwa bentuk simbolik pekat patut dimaknai sebagai keras dan liat yang mengacu pada ketiadaan semangat kehidupan.

Bertolak dari gambaran seperti diatas dapat diambil kesimpulan bahwa darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat merupakan bentuk bahasa kias. Pada bentuk bahasa kias tersebut, bentuk simbolik darah pada dasarnya hanya mewakili keseluruhan diri ataupun keberadaan aku. Dengan kata lain pada larik tersebut dapat ditemukan bahasa kias sinekdok. Karena pengiasannya dapat juga dinyatakan sebagai bentuk pengiasan pars pro toto, atau sebagian mewakili keseluruhannya.

Penggunaan bentuk simbolik yang dari ciri denotasi maknanya saja sudah bersifat ganda seperti diatas dapat juga dibandingkan dengan penggunaan simbolik putih pada larik memutih tengah malam dalam puisi Ekspatriate. Pada bentuk simbolik tersebut, memutih dapat menggambarkan sesuatu yang semula tidak tampak kemudian tampak sebagai sesuatu yang putih, sesuatu yang tidak putih kemudian menjadi putih, sesuatu yang jelas, dan lain sebagainya. Apabila pada puisi Kawanku dan Aku penyair menggunakan kata dasar, pada puisi Expartriate penyair memanfaatkan efeksemantis pemberian imbuhan. Dalam hal ini adalah awalan “me.

kembali pada puisi kawanku dan Aku. Larik siapa berkata-kata dapat ditentukan sebagai apostrof. Sementara larik kawanku hanya rangka saja dapat ditentukan sebagai bentuk bahasa kias. Pada larik tersebut bentuk simbolik rangka secara tidak lansung dapat diperbandingkan mati, ketiadaan kekuatan hidup, dan lain sebagainya. Dalam bahasa Indonesia pernyataan tubuhnya tinggal rangka lazim digunakan untuk menggambarkan orang yang sedemikian kurus yang tidak memiliki kekuatan hidup. Bertolak dari gambaran pengertian demikian dapat ditentukan bahwa larik tersebut merupakan bentuk bahasa kias metafora. Sementara pada larik berikutnya, karena derah mengelucak tenaga dapat ditemukan bahasa kias personifikasi. Dinyatakan demikian karena dera sebagai salah satu yang tidak berkesadaran dinyatakan mengelucak.

Larik dia bertanya jam berapa? Ditinjau dari hubungannya dengan sudah larut sekali dapat ditafsirkan sebagai bentuk bahasa kias. Dinyatakan demikian karena pertanyaan tentang jam lazimnya diikuti jawaban yang merujuk pada angka. Sedangkan pada larik tersebut, jam dihubungkan dengan larut. Pada sisi lain penggunaan dia pada larik tersebut bisa merujuk pada pesona yang tidak hadir secara langsung sebagai bentuk simbolik, kata jam pada larik tersebut pada dasarnya digunakan untuk menyatakan waktu. Dengan demikian pada larik tersebut dapat ditemukan bahasa kias metonimi.

Pada larik sudah larut sekali, kembali dapat ditemukan bentuk simbolik larut tetapi berbeda dengan penggunaan bentuk simbolik larut pada larik kami sama pejalan larut, bentuk simbolik larut pada larik tersebut rujukannya jelas pada waktu. Dinyatakan demikian karena larik tersebut merupakan jawaban dari Dia bertanya jam berapa? Tidak berbeda dengan larik sebelumnya larik tersebut juga dapat ditafsirkan bersifat metonimik. Ditafsirkan demikian karena pernyataan sudah larut sekali dapat digunakan untuk menggambarkan puncak waktu ketiadaan aktivitas dengan ruang kehidupan. Hal itu dipertegas lewat pengunaan metafora hilang tenggelam segala makna/dan gerak tak punya arti.

PENUTUP

Bertolak dari pembahasan di atas, dapat diperoleh gambaran bahwa gaya pada dasarnya hanya merupakan alat. Sebagai alat gaya dapat digunakan untuk mengatasi keterbatasan bahasa dalam mengekspresikan gagasan maupun berbagai efek emotif, yang ingin dibuahkan penuturnya. Ditinjau dari segi penggunaanya, penggunaan gaya sebagai alat bersifat tetnatitif..Penggunaanya bisa memilih beberapa gaya tertentu dengan mengabaikan kemungkinan penggunaan jenis gaya yang lain. Dari gaya yang digunakan itu pun pengguna bisa mengkreasikan ulang dan memanipulasikannya sesuai dengan gaya dan efek yang dicapai..

Menyangkut hal yang terakhir, antara penyair yang satu dengan yang lain bisa berbeda-beda. Yang paling umum, perbedaan itu merujuk pada kata-kata yang dikombinasikan, bentuk simbolik yang dikreasikan, konstruksi, dan penguntaian bentuk gaya bahasanya dalam untaian secara sintagmatis. Hal itu sebenarnya juga sangat ditentukan oleh karakteristik gagasan, suasana, dan latar ideologis penyairnya. Pada puisi Kawanku dan Aku misalnya, latar ideologis itu dicerahi oleh wawasan filsafat tertentu. Dalam hal ini adalah filsafat eksistensi. Sementara pada puisi Ekspariate wawasan ideologis itu harus dihubungkan dengan wawasan nilai religiusitas. Sesuai denagan keagamaan penyairnya, nilai religiusitas itu berkaitan dengan keimanan dalam islam.