Monday, April 27, 2009

CINTA AYAH DALAM PERSPEKTIF SEMIOTIKA
(Pendekatan Semiotika F. de Saussure)

Pendahuluan
Puisi, seharusnya segar. Puisi, selayaknya sanggup menyegarkan. Di dalam puisi, seharusnya ada suatu kedalaman, yang bila digali, tidak akan pernah habis. Itulah makna. Sebuah proses pemaknaan adalah proses pergumulan dengan setiap detil puisi, dengan yang ditandakan. Begitulah, detil-detil puisi adalah detil-detil tanda. Kira-kira demikian, memandang puisi dari sudut semiotik.
Teori semiotika merupakan ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang tanda dan cara kerjanya. Berbicara tentang semiotika tidak akan lepas dari pembicaraan tentang tokoh pentingnya, Ferdinand de Saussure. Menurutnya, tanda merupakan objek fisik dengan sebuah makna (Susanto, 2005: 33). Dalam teorinya, Saussure menyebut “objek fisik” atau “eksistensi fisik tanda” sebagai penanda. Sedangkan yang merupakan makna, atau “konsep mental” disebut petanda, yaitu apa yang diacu oleh penanda.
Teori semiotika Saussure terdiri dari pasangan beroposisi, selain konsep penanda – petanda: adalah langue – parole. Konsep pertama mengacu pada bahasa umum, yaitu bahasa sebagai objek sosial yang murni dan dengan demikian keberadaannya terletak di luar individu. langue berperan sebagai seperangkat konsepsi-konsepsi sistematik dalam proses komunikasi, sedangkan parole adalah ucapan individual. Parole dapat dipandang sebagai kombinasi yang memungkinkan penutur mampu menggunakan kode bahasa untuk mengungkapkan pikiran pribadinya, maupun sebagai mekanisme psiko-fisik yang memungkinkan penutur menampilkan kombinasi tersebut (Susanto, 2005: 32-33). Wilayah puisi termasuk dalam konsepsi parole, bentuk nyata ucapan (ungkapan) individual pengarang. Namun demikian, di balik setiap ucapan individual tersebut, terdapat suatu tanda yang terlembagakan, yaitu kode, sebuah sistem yang berlaku umum, yang termasuk wilayah langue.
Lebih jelas Ratna (2004: 100) mengungkapkan, bahwa langue dianggap sebagai fakta sosial, sebagai ciri-ciri institusi, impersonal, gudang tanda, sistem kebahasaan yang dipahami bersama. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa parole, yang merupakan ucapan individual, merupakan bagian dari langue, seperti yang diungkapkan oleh Budiman, bahwa parole tersusun dari tanda-tanda yang identik dan senantiasa berulang. Karena konsep keberulangan itulah maka setiap tanda dapat menjadi elemen dari langue (2003: 40).

Cinta Seorang Ayah dalam Puisi
Puisi ayah, karya Abdurahman Faiz, penyair cilik yang pernah menjadi Juara Pertama Lomba Menulis Surat untuk Presiden, pada 2003 lalu, merupakan puisi yang polos, terkesan apa adanya, namun menggugah dan segar. Sangat tidak pas bila dibandingkan dengan puisi-puisi kontemporer memang, tapi Faiz disebut-sebut sudah membuat tradisi tersendiri dalam dunia sastra anak.
Adanya sebuah tradisi yang dibentuk oleh seorang penyair pada jamannya, mengimplikasikan sistem kode, sebuah langue. Pada bait pertama puisi Ayah berbunyi:
Sedalam laut, seluas langit
cinta selalu tak bisa diukur
begitulah ayah mengurai waktu
meneteskan keringat dan rindunya
untukku

bila dibaca tanpa mengetahui penulis puisi ini, maka akan terlihat sebuah puisi yang ditulis oleh kebanyakan penulis muda, bukan seumur Faiz yang menulis puisi ini ketika berumur 8 tahun. Pemikiran-pemikiran dan pemilihan bahasa dalam puisi ini terkesan matang bagi seorang bocah berumur 8 tahun.
Pada baris pertama diungkapkan “sedalam laut, seluas langit” adalah ungkapan yang mengacu pada baris selanjutnya “cinta selalu tak bisa diukur”, hal ini mengacu pada perasaan cinta yang mendalam, yang tidak akan pernah habis dan kering seperti sifat laut dan langit. Begitulah mungkin cinta ayah bagi aku liris, yang setiap harinya, setelah pulang bekerja (meneteskan keringat) masih menyisakan rindu untuk anaknya. Ungkapan ini seolah menunjukkan, selain Ibu yang melahirkan anak, ayah juga memiliki cinta yang mendalam bagi anaknya. Cinta ayah, selama ini memang sering dinomorduakan, setelah cinta ibu, namun demikian, tidak selayaknya diremehkan. Abdurahman Faiz mungkin memandang betapa berharganya cinta seorang ayah.
Pada bait selanjutnya, diungkapkan kesediaan ayah mengurai cinta kepada anaknya, walaupun dalam keadaan yang letih setelah bekerja.
Ayah pergi sangat pagi
kadang sampai pagi lagi
tapi saat pulang
ia tak lupa menjinjing pelangi
lalu dengan sabar
menguraikan warnanya
satu persatu padaku
dengan mata berbinar

Diksi “menjinjing pelangi”, mengkiaskan buah tangan. Dengan gaya yang sedikit hiperbol, kesan yang ditimbulkan oleh diksi tersebut sangat mengagumkan. Pelangi adalah suatu fenomena yang indah, yang tidak dapat disaksikan setiap hari. Namun demikian, bagi orang-orang yang menyaksikan pelangi setelah hujan, mungkin menggumam “oh indahnya,” atau ungkapan kekaguman yang lain. Lalu bagaimana seandainya seseorang membawakan pelangi, setiap kali datang, sebagai oleh-oleh? Hal tersebut mungkin yang dirasakan oleh pengarang, dan demikian pula seperti yang diharapkan oleh anak-anak lain dari seorang ayah. Seolah-olah, puisi ini adalah sebuah pesan yang mendalam bagi ayah-ayah, yang secara tidak langsung, mengkhianati anak-anaknya dengan cara berselingkuh, atau berpoligami.
“Pelangi” adalah lengkung warna di langit sebagai akibat pembiasan sinar matahari oleh titik-titik hujan atau embun. Bagaimana bila warna-warna pelangi diuraikan satu persatu? Bukankah indah sekali? Warna adalah sesuatu yang menarik bagi anak-anak. Warna merah, biru, kuning, hijau dan sebagainya merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi anak-anak. Oleh karena itu, kegembiraanlah yang tersirat bila seorang ayah sanggup mengurai warna-warni pelangi untuk anaknya, apalagi dengan mata yang berbinar. Dengan demikian, pelangi adalah kegembiraan, simbol cinta yang indah, yang setiap warnanya adalah kegembiraan.
Kedua bait di atas, satu dengan yang lainnya saling terkait. Koherensi dalam pemilihan bahasanya pun membuat puisi ini terkesan pas, tidak perlu dikurangi dan tidak perlu ditambahi. Keluguan seorang anak yang indah, terungkap lewat barisan kata-kata yang tidak terlalu berlebihan, dengan retorika yang sederhana. Sifat ini seperti sifat cinta. Cinta yang tulus, yang tak berpamrih, tidak pernah melebih-lebihkan apapun. Mencintai adalah menerima sesuatu dengan apa adanya, kemudian memberikan sesuatu tanpa meminta imbalan apapun. Pada sebuah teori tentang cinta, yang seperti itu disebut cinta platonis. Hal tersebut, lebih ditekankan lagi pada diksi: “Sedalam laut, seluas langit/ cinta selalu tak bisa diukur/ meneteskan keringat dan rindunya” atau pada diksi pada bait kedua: “ia tak lupa menjinjing pelangi/ lalu dengan sabar/ menguraikan warnanya/ satu persatu padaku”. Inilah parole dalam konsep Saussure, yaitu ungkapan individual tentang cinta seorang ayah terhadap anaknya.
Kata “pelangi”, atau retorika “sedalam laut, seluas langit” merupakan beberapa kode sastra yang tergolong usang. Namun demikian, hal tersebut dapat dimaklumi. Pelajaran sastra dalam tingakat Sekolah Dasar adalah pelajaran tentang sejarah sastra. Karya-karya yang mungkin digeluti oleh pengarang adalah karya-karya yang sudah tertulis dalam sejarah, semisal Rendra, Sutan Takdir Alisjahbana dan sebagainya. dengan demikian, hal tersebut memengaruhi diksi pengarang. Hubungannya dengan Ibunya, yang seorang cerpenis itu, mungkin turut memengaruhi logika puitik Abdurahman Faiz. Nada-nada religius mengesan dalam setiap bait puisi-puisi Faiz yang lain. Inilah yang dapat disebut sebagai langue dalam konsep Saussure. Pada akhirnya, analisis kode sastra adalah analisis yang bersifat ideologis, dalam arti latar ideologis yang membentuk logika berbahasa, yang sangat erat hubungannya dengan latar belakang sosiobudaya pengarang.


Konsepsi Waktu
Konsepsi tentang cinta, secara otomatis akan mengimplikasikan konsepsi waktu. Sebagai permisalan, dalam waktu berapa lama seorang ayah mencintai anaknya? Pada beberapa kasus dalam dunia sinetron kita, contohnya pada sinetron Cahaya, sosok ayah seolah-olah hanya peduli pada diri sendiri, yang kemudian berkilah bahwa anaknya harus menikah dengan pemuda kaya raya agar nasibnya baik, padahal demi kepentingan ekonominya sendiri. Kasus tersebut, menunjukkan bahwa setelah beberapa waktu, cinta ayah kepada anaknya mungkin segera berubah, seiring dengan bergulirnya waktu, cinta ayah hanya berlatar belakang kebutuhan ekonomi belaka.
Lain halnya dengan “cinta ayah” dalam puisi Faiz. Walaupun cinta ayah terbatas oleh waktu, yang mungkin dirasakan oleh aku menimbulkan efek tersendiri, namun setiap pertemuannya dengan ayah adalah kegembiraan, penuh dengan cinta. Konsepsi waktu itu terdapat dalam bait ketiga:
Waktu memang tak akrab
denganku dan ayah
tapi di dalam buku gambarku
tak pernah ada duka atau badai
hanya sederet sketsa
tentang aku, ayah, dan tawa
yang selalu bersama

Kegelisahan aku tentang waktu terungkap dalam baris pertama dan kedua, “Waktu memang tak akrab/ denganku dan ayah,” personifikasi waktu sengaja dimaksudkan seolah-olah waktu hidup, dan dalam hubungannya dengan aku dan ayah tidak begitu menguntungkan. Hal tersebut mengacu pada kurangnya intensitas pertemuan aku dengan ayah. Dihubungkan dengan ungkapan pada bait sebelumnya, “Ayah pergi sangat pagi/ kadang sampai pagi lagi” dapat dilihat, bahwa yang menjadi penghalang pertemuan aku adalah kesibukan ayah.
Dunia fiksi adalah dunia yang berdiri sendiri. Begitu pula tanda-tanda yang ada di dalamnya, mengacu pada dunia fiksional, dunia yang hadir dalam bentuk yang lain, dunia yang di dalamnya terdapat begitu banyak imajinasi. Namun demikian, dalam prosesnya, penulis fiksi adalah orang yang mencampuradukkan kenyataan yang dilihatnya dengan imajinasi dalam pikirannya. Hal tersebut dimungkinkan bersifat psikologis. Setiap kontemplasi adalah akibat dari sebuah pengalaman, sementara karya fiksi (sastra) adalah bentuk nyata proses perenungan penulisnya.
Atas dasar pernyataan tersebut, adalah mungkin, tanda dalam karya sastra dapat dihubungkan dengan kenyataan historis pengarangnya (author). Apalagi, bagi seorang anak, karya sastra lebih kepada pengungkapan tentang sebuah kejujuran. Apa yang dirasakan adalah apa yang ditulis. Oleh karena itu, sastra bagi anak seperti buku diari, catatan sehari-hari, pengalaman demi pengalaman yang diungkapkan dengan jujur dan gamblang.
Kembali pada konsepsi waktu dalam puisi Abdurahman Faiz. Adalah mungkin bahwa konsepsi waktu dalam puisi itu adalah representasi latar belakang sosial pengarang. Pengarang hidup di kota Jakarta, yang setiap individunya adalah orang-orang yang super sibuk. Motif ekonomi adalah alasan utama dalam setiap aktivitas kehidupan di Jakarta. Sekelumit biografi pengarang, bahwa Abdurahman Faiz adalah anak seorang wartawan bernama Tomi Satryatomo. Bisa dibayangkan kesibukan seorang wartawan, yang kemudian harus membagi waktunya untuk berbagi cinta dengan keluarganya, khususnya anaknya. Sebagai anak seorang wartawan yang banyak menghabiskan waktu di jalanan, mencari berita, demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya, Faiz mungkin jarang bertemu dengan ayahnya. Ada kemiripan konsepsi “waktu” pada puisi dengan acuan yang bersifat referensial tentang waktu pada kehidupan nyata pengarang. Kemiripan ini kemudian oleh Saussure disebut sebagai hubungan paradigmatis, yaitu hubungan asosiatif antara penanda dan yang ditandakan, suatu sistem relasi yang mengaitkan sebuah tanda dengan tanda-tanda lain, baik berdasarkan kesamaan maupun perbedaannya, sebelum ia muncul dalam tuturan (Susanto, 2005: 33).
Ternyata waktu tidak mampu mengalahkan cinta. Pada baris selanjutnya dalam bait ketiga diungkapkan “tapi di dalam buku gambarku/ tak pernah ada duka atau badai” dan pada ungkapan “hanya sederet sketsa/ tentang aku, ayah, dan tawa/ yang selalu bersama.” Walaupun aku jarang bertemu dengan ayah, menggambarkan suasana kegembiraan dalam sebuah buku gambar adalah hal yang manjur untuk melepaskan kerinduan. Menggambar adalah sesuatu kesenangan yang lain, yang sering didapati pada anak-anak. Aktivitas menggambar, bagi anak-anak adalah menyenangkan: sebuah pemandangan, kegembiraan dalam keluarga, bahkan ekspresi tentang cinta pada ibu, ayah atau teman-teman. Selain itu, menggambar akan terasa lebih asik lagi mungkin, bila dilanjutkan dengan mewarnai. Barangkali, anak-anak memang lebih mengerti arti warna-warna, dan sanggup mengekspresikannya lebih bebas daripada orang dewasa. Begitulah, setiap deret sketsa dalam sebuah buku gambar, sanggup mengekspresikan cinta anak kepada ayahnya. Dan cinta mengalahkan segalanya, termasuk waktu yang tidak pernah akrab.
Sejengkal Interpretasi Sinkronis
Teori semiologi Saussure juga menawarkan sebuah konsep beroposisi tentang kajian diakronik dan sinkronik. Kajian diakronik merupakan kajian bahasa dalam perkembangan sejarah, dari waktu ke waktu, studi tentang evolusi bahasa, studi mengenai elemen-elemen individual pada waktu yang berbeda. Sedangkan studi sinkronik mengkaji bahasa pada masa tertentu, hubungan antara elemen-elemen bahasa yang saling berdampingan (Ratna, 2004: 100).
Adalah wajar bila sebuah analisis tentang karya sastra diakhiri dengan kesimpulan. Dalam pembahasan kali ini, penulis mencoba memaparkan sejengkal interpretasi secara sinkronis, mengenai hubungan ideologis retorika puisi Ayah karya Abdurahman Faiz dengan kode sastra kontemporer.
Sastra kontemporer adalah sastra yang berkembang dalam komunitas-komunitas. Dalam sebuah komunitas tertentu, sangat dimungkinkan memiliki karya sastra dengan ciri khas yang berbeda dengan karya sastra dala komunitas yang lain. Contoh konkritnya adalah realitas perbedaan retorika antara sastra yang berkembang di kota, dengan sastra yang berkembang di desa. Hal tersebut, dapat merupakan ciri-ciri sastra kontemporer kita, yang disebut-sebut sebagai angkatan 2000.
Karya sastra tidak lagi memuat tema-tema universal, melainkan lebih banyak mengangkat tema-tema lokal. Afrizal Malna, misalnya, dalam sajak-sajaknya sarat akan simbol-simbol yang megacu pada kenyataan kehidupan perkotaan. Demikian halnya dalam berbagai komunitas sastra yang berkumpul dalam suatu wadah berbasis internet, yang dalam kecanggihannya, mampu menghubungkan setiap anggotanya dalam kecepatan bite per detik.
Puisi Ayah karya Abdurahman Faiz lahir dalam konteks budaya yang demikian. Apalagi penulis, Faiz, bertempat tinggal di Jakarta bersama ayah dan ibunya. Seharusnya, ada semacam kecenderungan mengikuti trend dalam puisi-puisi Faiz. Namun, ternyata hal tersebut tidak terjadi. Justru, puisi-puisi Faiz merupakan suatu bangunan genre tersendiri dalam dunia sastra kita, yaitu genre Sastra Anak. Puisi-puisi Faiz merupakan angin segar bagi perjalanan sastra kontemporer.
Walaupun demikian, selalu ada beberapa hal yang dapat diperbandingkan. Dalam puisi Ayah, asosiasi “pelangi” (dalam puisi-puisi kontemporer sering ditemukan diksi “bianglala”) merupakan sebuah fenomena ideologis dalam kode sastra. Di kota, orang-orang jarang melihat pelangi di langit setelah hujan. Bila pun ada pelangi, kesempatan untuk melihatnya adalah sangat jarang. Hal tersebut, seolah-olah merupakan masalah yang ironis, sementara kesibukan bekerja bertujuan untuk mencapai indahnya kebahagiaan, justru ketika ada hal yang indah, yang alami dan tidak setiap hari ditemukan, begitu saja terlewati. Memang ada pesan yang seharusnya tertangkap dari kenyataan tersebut. Bahwa tidak selamanya hidup adalah untuk memeras keringat mencari nafkah, bahwa tidak semua kebutuhan hidup adalah kebutuhan yang besifat ekonomis. Melainkan, ada hal-hal lain yang mungkin lebih indah selain kebahagiaan hedonis, seperti cinta misalnya.
Pada akhirnya, puisi Ayah Karya Abdurahman Faiz menuai maknanya. Walaupun setiap pemaknaan oleh setiap pembaca (interpretator) berbeda-beda satu dengan lainnya, pada akhirnya pasti ada benang merah penghubung, karena pada dasarnya ada sebuah sistem yang sifatnya ideologis, yang melatari setiap kegiatan interpretasi, yaitu kode budaya.
DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Kris. 2003. Semiotika Visual. Yayasan Seni Cemeti: Yogyakarta.

Ratna S. U., Prof. Dr. Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Susanto, SH., MH., Anton Freddy. 2005. Semiotika Hukum, dari dekonstruksi teks menuju progresifitas makna. Bandung: Refika Aditama

Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.