Monday, April 27, 2009

Inses dan Oedipus Kompleks Dalam Puisi Joko Pinurbo

Tahun 1897, Freud menulis surat kepada sahabatnya Fliess yang isinya mengenai Drama Sophokles, seorang dramawan Yunani yang telah menulis Oedipe-Roi, sebuah drama berdasarkan mitos Oedipus yang mempunyai keinginan cukup ekstrem, yaitu membunuh ayahnya dan menikahi ibunya. Cinta (seksual) terhadap ibu bagi anak laki-laki dan birahi ayah bagi anak perempuan ini di sebut incest, atau cinta sedarah. Mengenai inses ini, lebih jauh Freud menunjuk sebuah drama karya Shakespeare, Hamlet, yang juga memiliki kecenderungan serupa yaitu: keinginan Hamlet (sadar atau tidak) untuk membunuh pamannya juga dalam rangka merebut cinta sedarah ini.
Freud (2003:135) menjelaskan, bahwa kasih sayang non seksual dan kasih sayang seksual berasal dari sumber yang sama, yaitu jenis cinta yang pertama (kasih sayang non seksual) juga semata-mata berkait erat dengan fiksasi infantil libido. Inilah yang menyebabkan mobilisasi dari kasih sayang non seksual menjadi seksual dan pada akhirnya memicu dorongan seksual sedarah atau inses.
Objek inses ini adalah objek yang dianggap mempunyai nilai-nilai sakral bagi manusia dan kemanusiaan, seperti: ibu, saudara kandung, atau ayah. Di sini Freud juga menjelaskan bahwa hasrat-hasrat yang dianggap asing bagi sifat-sifat manusia karena kesakralannya itu malah mempunyai kekuatan untuk muncul dalam mimpi sebab keberadaannya telah mengendap ke bawah sadar.
Mengenai objek seksual yang berkait dengan inses ini, Joko menulis Celana (1). Dalam puisi ini, keinginan atau pikiran tentang inses ini digambarkan dengan seseorang yang sedang “bertualang mencari kubur ibunya” sebagai ungkapan rasa bersalah karena telah menginginkan ibu sebagai objek seksual yang kedudukkannya bahkan telah disakralkan oleh ketentuan-ketentuan agama. Dalam puisi ini, hasrat tentang inses dan rasa bersalah akibat dorongan itu digambarkan dengan baris-baris berikut:
Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai tokoh busana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya.

Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.

“Kalian tidak tahu ya
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”

Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan,
“Ibu, kau simpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”
(Celana (1), 1996:28).

Agama dan moralitas dalam masyarakat telah mengharamkan hubungan seksual sedarah. Objek sedarah yang umumnya dianggap sakral ini adalah ayah, ibu dan saudara kandung. Dalam puisi di atas hubungan cinta sedarah ini ditandai dengan rasa bersalah seorang individu sehingga ia merasa perlu “berkelana mencari kubur ibu / hanya untuk menanyakkan, / “Ibu, kau simpan di mana celana lucu / yang kupakai waktu bayi dulu?” Ini mengingatkan pada kisah raja Oedipus yang karena penyesalan ini, menjadi pengembara buta dan terlunta-lunta sampai akhir hayat.
Celana adalah benda yang umumnya dipakai untuk menutup ketelanjangan atau aurat. Dalam puisi di atas terdapat baris, “Ibu, kau simpan di mana celana lucu / yang kupakai waktu bayi dulu?” Apakah benar seorang bayi memakai celana ketika ia terlahir ke dunia? Tentunya celana yang dipakai seorang bayi waktu bayi sebagai penutup aurat ini, adalah simbol yang mewakili kerinduan si aku lirik pada tubuh yang fitri, di mana seseorang belum mengenal keliaran impuls-impuls seksual yang terus tumbuh seperti gurita dalam tubuh yang berkembang bersama struktur dan fungsi tubuh.
Impuls seksual yang terjadi di luar sadar ini seperti yang telah diuraikan di atas, mengalami banyak permasalahan pada awal penyalurannya. Pada umumnya individu mengalami beberapa fase perkembangan dan pengalaman yang sangat personal menyangkut pemenuhan dan pengalihan impuls seksual ini. Menurut Freud, seorang anak pada umumnya juga mengalami kecemburuan terhadap ayah bagi anak laki-laki dan kecemburuan pada ibu bagi anak perempuan. Kecemburuan inilah yang menyebabkan tumbuhnya beni-beni inses atau cinta sedarah, sehingga dalam drama-drama klasik sering mengisahkan bagaimana seseorang yang ingin membunuh ayahnya demi memperebutkan kasih sayang ibu.
Pada puisi di atas, “mencari kubur ibu” tentunya bukan tanpa maksud, apalagi itu dilakukan untuk “menanyakan celana lucu” yang dipakainya waktu bayi dulu. “Bahkan di depan pramuniaga / yang merubung dan membujuk-bujuknya / ia malah mencopot celananya sendiri / dan mencampakkannya.” Pramuniaga yang menawarkan celana sebagai perempuan yang bisa jadi menggairahkan secara seksual menjadi tidak berarti sebab seseorang masih memendam penyesalan yang mendalam terhadap ibu yang dulu pernah menjadi sasaran objek seksual inses. “Ibu, kausimpan di mana celana lucu / yang kupakai waktu bayi dulu?, merupakan ungkapan terdalam dari diri seseorang tentang sebuah kerinduan di saat dia dalam keadaan fitri dan belum mengenal keliaran dorongan seksual yang tak mengenal batas-batas yang telah disakralkan oleh kemanusiaan, seperti ibu atau ayah kandung.
Kecemburuan anak terhadap ayah ini pun tampak dalam puisi Ketika Pulang. Bait-bait puisi itu adalah:
Di depan pintu aku berjumpa lelaki tua
dengan baju usang, celana congklang.
“Kok tergesa,” ia menyapa,
“Kita mabuk-mabuk dululah.”

Ia menatapku, aku menatapnya.
“Selamat minggat,” ujarnya sambil mencubit pipiku.
“Selamat ngorok,” ujarku sambil kucubit janggutnya.

Ia siap melangkah ke dalam rumah, aku siap berangkat
meninggalkan rumah.
Dari dalam rumah ibu berseru,”Duel sajalah!”
(Ketika Pulang, 1998:51).

Menurut Freud (2006:227) seorang anak laki-laki sejak kecil sudah mulai membangun rasa sayang terhadap ibunya yang dilihat sebagai salah satu miliknya dan menganggap ayah sebagai pesaing yang berusaha merebut atau berbagi kepemilikan. Demikian juga dengan anak perempuan yang melihat ibunya sebagai seorang yang mengganggu hubungan kasih sayang antara dirinya dengan ayahnya, yang dirasakan dapat di penuhinya sendiri. Hubungan yang biasa di sebut Oedipus Complex ini memang tidak mendasari semua hubungan antara orang tua dan anak sebab dalam kenyataan yang terjadi lebih rumit lagi.
Orang tua sendiri juga sering mendorong anaknya untuk bertindak seperti Oedipus Kompleks ini. Perlakuan orang tua yang sering membeda-bedakan kasih sayang berdasarkan jenis kelamin, sang ayah lebih sayang pada anak perempuan sedangkan sang ibu kepada anak laki-laki, misalnya, adalah benih-benih yang menumbuhkan kasih sayang jenis Oedipus ini.
Pada puisi Ketika Pulang, memperlihatkan bagaimana hubungan anak laki-laki dan ayah dari jenis Odipus ini, yang digambarkan dengan seorang anak yang baru pulang dan begitu di depan pintu, yang dijumpai adalah “lelaki tua dengan baju usang, celana congklang” dan menyambut sang anak dengan semacam sindiriran: “Kok tergesa, kita mabuk-mabuk dululah.” Sudah sering dijumpai terutama dalam tatanan masyarakat yang lebih tradisional (patriarkal), anak lelaki menjadi momok bagi sang ayah. Dalam tatanan masyarakat jenis ini, seorang ayah (kepala suku, misalnya) seperti pada cerita-cerita kuno sering membunuh anak laki-laki karena dianggap ancaman bagi seks dan kekuasaannya. Bahkan Freud menyimpulkan, pembunuhan setiap bayi laki-laki yang lahir dalam cerita mesir kuno oleh Fir’aun adalah juga dalam rangka ini.
Seks dan kekuasaan, sejak zaman purba memang dua hal yang sering dipertalikan. Miniatur dari hubungan ini terlihat dalam sebuah keluarga, di mana sang ayah tidak sekedar menjadi kepala keluarga tapi juga seseorang yang bagi anak patut dicemburui karena dianggap telah merampas kasih sayang dan menguasai sang ibu sehingga tidak jarang mereka seperti anjing dan kucing yang saling menatap curiga bila bertemu: “Ia menatapku, aku menatapnya. Ia siap melangkah ke dalam rumah, aku siap berangkat / meninggalkan rumah.”
Selain itu, Freud menambahkan bahwa seorang anak yang pernah melihat hubungan bersebadan kedua orang tuanya menganggap itu adalah agresi sang ayah terhadap ibu. Inilah yang menjadikan masalah itu terkesan rumit. Kasih sayang sang ibu yang sifatnya nonseksual pada akhirnya (entah bagaimana) berubah menjadi kasih sayang seksual dan kecemburuan sang anak pun berawal dari sini. Tapi agaknya Freud memang lebih mendasarkan perhatiannya pada masyarakat patriarkal yang masih primitif.

1 comment:

Ngak Basa Basi said...

Tulisan ini hanya bersifat satu arah...

Gak jelas niatnya, apa untuk sekedar nulis apa untuk publikasi, ato mungkin gue yang gak paham soal sastra..

Tapi bagi gue,tulisan yang berkualitas adalah tulisan yang dapat berkomunikasi dengan pembacanya...,bersifat menghibur dan memberikan informasi...